Páginas

Kamis, 03 Maret 2016

Berhari Minggu Di Tiku Itu Seru


Perjalanan ke Tiku hari ini benar-benar di luar rencana. Niat awalnya malah pengin ikut pengajian. Berawal Kamis lalu, saat aku dan sahabatku Dian shalat di masjid depan kampus STIT Kampung Baru, kami menemukan selebaran berisi pengumuman akan digelarnya sebuah acara Tabligh Akbar di Mesjid Tapi Aia pada Minggu 28 Februari 2016, dengan tema "Perjalanan Setelah Kematian" terpampang nyata di dinding pos penjaga mesjid. Hebatnya lagi, pembicara pada acara tersebut adalah uztad dengan gelar yang cukup oke dan lulusan Universitas di Madinah.

Setelah hari H yang dinanti-nanti tiba, bergegaslah aku dan Dian menuju masjid tempat acara akan digelar. Namun, setelah kami tiba di masjid yang aku yakini sebagai masjid Tapi Aia, kami kebingungan kok mesjidnya sepi-sepi saja. Sesaat kemudian aku melirik Dian, dan dia pun melakukan hal yang sama saat kita berdua sama-sama membaca nama masjid tersebut; MESJID AIA PAMPAN. 

Yassalam..

Kemudian kami muter-muter nyari masjid yang dimaksud. Tapi nggak ketemu juga. Ya Allah, setan apakah yang telah membutakan mata kami #eh


Entah karena efek laper atau baper, muncul argumen Dian yang seperti ini; “Mungkin bukan Mesjid tapi aia, tapi tepi pantai” dengan polosnya. Aku pun melotot mendengar pernyataan tersebut. Tapi entah kenapa, aku seolah tersugesti oleh perkataan Dian, dan sampailah kami di Pantai Gandoriah.
Di pantai kami bertanya pada ibu-ibu yang berjualan sala lauak (makanan khas Pariaman), mengenai keberadaan Masjid Tapi Aia. Dan dengan percaya dirinya si ibu bilang masjid tapi aia ada di kampung perak, deket klinik Aisyiyah.
Singkat cerita, sampailah kami di lokasi yang dijelaskan si Ibu tadi dengan wajah sangat meyakinkan, namun tanda-tanda akan digelarnya sebuah acara tidak juga tampak disini. Kemudian kami pergi ke Taratak, mungkin maksud si ibu mesjidnya deket rumah sakit Aisyiyah, namun hasilnya pun sama.
Kami pun menyerah!

Ampuni Aim ya Allah yang terlalu cepat menyerah.
**


Sejurus kemudian kami mulai berdiskusi, akan kemana kaki ini melangkah. Perut pun mulai keroncongan. Sempat berniat untuk makan nasi sala Uni Esi yang terkenal di Pantai Cermin Pariaman itu, tapi buru-buru niat itu kami kubur dalam-dalam mengingat seperti apa ramenya itu warung nasi hari Minggu begini. Hingga tercetus ide untuk coba makan siang di Tiku. Gegara dulu pernah dipanas-panasin Dian Permata (teman satu lagi) yang cerita makanan di Tiku enak-enak, maka nekatlah kami melakukan perjalanan ke Tiku, berhubung ada sahabat semasa kuliah kami Anggela tinggal disana. Kebetulan posisi kami pada saat itu tepat di simpang empat Jati, jadilah kami langsung belok kiri. Mudah-mudahan ini bukan jalan menuju kesesatan.

Tiku dilepas oleh Pariaman dan dihadiahkan pada Kabupaten Agam sejak 16 tahun lalu, kalo nggak salah, sih. Namun bicara adat, seperti bajapuik misalnya, Tiku masih memegang teguh tradisi ini sebagaimana Pariaman. Jauh dekatnya Tiku, itu relative, ya. Kalau kawan-kawan naik jet pribadi mungkin bakalan deket. Kalo dengan jalan kaki, akan terasa jauh dan lama. Dan kami, dua ibu-ibu pengajian gagal, menggunakan motor, jadi yah lumayan. Dibilang jauh, nggak jauh-jauh amat, dibilang dkeet juga nggak deket. Ada yang bisa lebih bisa menyederhanakan bahsa saya ini, behubung saya lupa mencatat berapa menit perjalanan saya dari Pariaman menuju Tiku? Tapi kira-kira 1,5 jam dari Pariaman ke arah utara.

Sampai di suatu daerah yang saya yakini adalah Tiku karena ada tulisan mutiara-mutiaranya (konon kabarnya di Tiku pantai yang terkenal bernama Pantai Tanjung Mutiara) saya mulai plangak-plongok nyari rumah yang di depannya ada tower deket MTSN Tiku, menurut informasi dari Anggela beberapa tahun lalu. Gila, ya, nyari rumah orang berbekal informasi beberapa tahun yang lalu. Ya tapi mau bagaimana, BBM ataupun nomer handphone Anggela nggak aktiv pada hari itu. 

Nyari hingga dehidrasi pun rumah Anggela nggak juga ketemu. Lalu ketika kami bertemu gapura;selamat datang di objek wisata Bandar Mutiara, saya pun memutuskan berhenti mencari rumah Anggela dan berfikiran mau menikmati alam Tiku berdua saja #eh

Tepat di depan portal setalah masuk dari gapura objek wisata Bandar Mutiara, kami diteriaki seorang bapak-bapak, disuruh berhenti. Beliau mengeluarkan kertas kercil warna merah jambu, aih romanis sekali bapak ini. “Delapan ribu untuk dua orang” katanya sambil menyodorkan kertas yang beliau klaim sebagai karcis masuk, bukan surat cinta.

Sambil ngedumel dalem hati kenapa masuk pantai ini berbayar, kami terus menyusuri pantai tersebut. Mata kami mencari-cari apa istimewanya pantai ini dibanding pantai-pantai lain yang masuknya malah gratis. And there is no something special here. Pantainya sepi. Maaf, banyak sampah bertebaran, dan benar-benar di luar espektasi. Kami tertipu indahnya gapura pemirsa. 

Tidak puas hati, aku bertanya pada bapak-bapak yang sedang istirahat sehabis melaut sepertinya, dan betapa kagetnya ketika si bapak bilang ‘Ini belum sampai Tiku. Masih di Bandar. Pantai yang rame itu di Tiku, Pantai Tanjung Mutiara namanya” denger ini langsung lemes. 

Tidak mau menyia-nyiakan waktu, kami bergegas melanjutkan perjalanan. FYI, Tiku itu bener-bener jalannya lurus nggak ada belok-belok, jadi tinggal lurus aja sampai ketemu gapura Pantai Tanjung Mutiara. Namun di tengah-tengah perjalanan, Dian mendapatkan Hidayah. Dia berhasil menemukan plang bertuliskan MTSN Tiku. Meski harus nanya kesana kemari dulu persis kaya Ayu Ting-Ting nyari alamat palsu, but Yeeeay nasib kami lebih sedikit beruntung di banding Ayu Ting-ting karena berhasil menemukan rumah Anggela, meski Anggela terlihat sedikit shock melihat kedatangan dua ibu-ibu Majlis Ta'lim yang lebih mirip sandera Gafatar yang melarikan diri ini.

Muka yang udah gosong diterpa sinar matahri, haus, lemes, laper, langsung hilang seketika ketika kami diajak makan siang di salah satu rumah makan paling enak dan paling rame di Tiku. Nama rumah makannya Takana Juo. Iya, uda juga masih takana juo kok #eh #laperbaper

Beginilah bentuk hidangan di rumah makan ini pemirsa..


Sekilas memang seperti hidangan di rumah makan pada umumnya. Itu Karna dua menu spesialnya belum dateng.

Ini nih menu spesialnya...Gulai Lokan.


Please, jangan fokus ke botol beer, yang jadi background foto gulai Lokannya, ya teman-teman. Air yang ada di dalam botol beer tersebut adalah air cuci tangan. Bukan berarti habis makan gulai lokan terus minum beer, bisa semaput akika. Jangan tanyain, kenapa air kobokannya harus diisi di botol beer? Dapet botol beer-nya dari mana? Sumpah, lupa nanya karna udah nggak sabaran pengen makan semua hidangan di rumah makan ini.

Selain gulai lokan, ada lagi sate lokan.




Lokan atau karang memang banyak terdapat di Tiku selain Langkitang dan Pensi. Makanya semua rumah makan di Tiku berlomba-lomba mengolah lokan seenak mungkin, untuk menarik pembeli. Dan rasa gulai lokan plus sate lokannya di rumah makan ini, saya kasih nilai 10. Enak bangeeeeeeeeeeettt!!!

Eittss, jangan berpikir semua yang kami makan ini akan dibandrol dengan harga yang bikin kantong bolong. Puas nyobaain menu ini itu bertiga, cukup bayar  Rp. 71.000 aja udah ditambah es teh. Pantesan rame, ya. udah enak, ramah kantong lagi. Apa lagi kantong pengangguran. Menurut info dari Anggela, kalo mau nyobain makan disini, datengnya harus cepet-cepet. Sekitar jam tiga-an mungkin semua menu udah habis. Pas kami dateng aja, sate lokannya udah dinyatakan pemilik rumah makan habis. Sampai-sampai Anggela nggak tega lihat wajah memelas kami, sate lokan di meja sebelah pun bisa beralih ke meja kami. Dan kalau teman-teman pas main ke Tiku dan mau nyobaain makan disini, silahkan banget. Rumah makannya berada disamping SMP I Tanjung Mutiara. Dari jalan Raya, cuma masuk ke dalem dikit. Ketemu deh rumah makannya.

Abis nyobain makanan khas dareh yang dikunjungin, nggak afdol kalo nggak ngunjungin tempat wisatanya. Pengen tahu tempat nongkrong anak-anak hits Tiku ini dimana. Kami pun diajak ke Pantai Tanjung Mutiara, yang dari tadi kami cari-cari. Sekilas nggak ada yang beda sih sama pantai Gandoriah Pariaman. Masuk pantai ini gratis, tidak dipungut bayaran. Kuliner yang disuguhkan di pantai ini juga sama dengan pantai-pantai lainnya, yaitu pensi, langkitang sama sala lauak gitu. Mungkin yang bisa bedain pantai Tanjung Mutiara Tiku ini sama Pantai Gandoriah ini adalah lautnya yang kalo lagi surut bisa kelihatan terumbu-terumbu karangnya. Kalo liat langsung lebih jelas.



Habis kongkow-kongkow cantik di bawah payung yang tidak ceper dan warna-warni namun bukan lambang LGBT, kami menuju pasar Tiku yang menurut Anggela ada bakso yang enak banget. Tau aja aku pecinta bakso. Sukses deh dibuat penasaran. Meski perut udah kenyang banget. Tapi sumpah, bakso ini memang enak. Bakso Mas Anto namanya. Lokasinya di deket jalan raya sih, belum masuk pasar. Kalau ke Tiku, cobain deh makan bakso disini.

Rasanya belum puas nyobain banyak makanan di Tiku (emang dasar tukang makan). Someday pengin balik lagi. Berhari Minggu di Tiku itu seru, lho. Yuk ke Tiku, cobain kulinernya. Tengkyuuu Anggela. Salam cinta, Netri Olala..

29 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar