Jumat, 19 Oktober 2012

Surat Untuk Tegar




                                                                                                            Padang, 04 Juli 2012

Teruntuk Seseorang yang Teramat Sangat Aku Cintai, Bernama Tegar..
            Entah dengan salam yang seperti apa untukkuku harus memulai surat ini. Tapi haruskah sebuah surat diawali salam? Sama halnya dengan mencinta, haruskah punya alasan? Dan aku, haruskah aku memberi alasan untuk menulis surat ini diawal padamu? Ku rasa tidak! Nanti kau akan tahu sendiri alasan ku berkirim surat padamu.
            Selama ini, aku berdiri di pintu sebuah tempat dimana tugas mempertemukan kita disana. Aku menantimu dengan sabar ku. Dengan rindu mataku untuk menangkap sosokmu, juga dengan cintaku. Satu, dua jam tak masalah bagi ku. Keterlambatanmu, aku pahami. Walau aku harus berkali-kali mengeluarkan kaca dari dalam tas ku untuk  memastikan dandanan ku tak berantakan.
Ketika sosokmu sudah terlihat dari kejauhan, aku memastikan lagi riasan wajah dan rambutku tak berantakan. Kali ini aku telah berdamai dengan waktu. Senyum juga telah singgah di wajahku. Ketika kau semakin dekat, jantungku berdetak lebih hebat. Senyumku tak karuan dan harapan ku untuk kau tanya apa kabar ku hari ini, lebih besar.
 Namun, yang sering ku dapati dari menantimu di pintu itu hanya senyum kecil darimu. Entah kau melakukan itu dengan sadarmu atau tidak. Tapi percayalah, senyum  kecilmu hari demi hari ketika akan memasuki ruangan itu, ku simpan dalam sebuah “kotak” yang bernama harapan. Harapan di suatu hari kau akan berkata “Hai Netri. Apa kabar hari ini?”. Dan aku telah mempersiapkan jawaban atas pertanyaan itu lengkap dengan cara tersenyum ketika menjawab pertanyaan itu. Senyum terbaik dari yang ku punya tentunya. Namun, hari demi  hari kau hanya tersenyum untukku. Senyum yang menggambarkan ketidaktahuanmu alasan ku berdiri di pintu itu. Hingga akhhirnya, aku mulai lupa dengan jawaban yang telah lama ku persiapkan, beserta cara tersenyum yang ku praktikan di depan kaca sepulang dari tugas itu.
            Ketika kau akan pulang, aku selalu setia mengantarmu hingga ke depan pintu itu. Berharap kau akan membalikan badanmu dan berkata “sampai jumpa besok”. Namun kalimat itu tak pernah ku dapat darimu. Bahkan hati ku kau buat hancur, ketika kau lebih ramah dan banyak bicara dengan wanita yang berdiri di pintu ruangan sana. Kau terlihat akrab dengannya. Bahkan kau melambaikan tanganmu ketika akan meninggalkannya. Mengapa kau tidak pernah melakukan hal semacam itu padaku? Wanita itu tidak tahu apa-apa. Ia tidak punya alasan berdiri di pintu itu. Berbeda denganku, aku tahu apa alasan ku berdiri di pintu itu , dan aku akan tetap berdiri menantimu di pintu itu. karena aku mencintaimu. Tapi dia tidak! Dia berdiri di pintu itu bukan untukmu. Kenapa kau lebih tertarik padanya?
                        Dia memang cantik. Jika kau mencoba membanding-bandingkan aku dengannya, maka kau tidak akan pernah menemukan celah untuk membanggakan apa yang aku punya dari padanya. Kau akan terus gagal mengidentifikasi keindahannya pada diriku. Keindahan yang telah membuatmu dan sahabatmu terkesima. Iya, sahabatmu. Sahabatmu mencintainya, dia juga mencintai sahabatmu, sedangkan kau juga mencintainya, padahal aku  mencintaimu. Kau tak perlu terperanjat kaget mengetahui hal ini. Pesonanya telah membuatmu buta, hingga kau tak mampu melihat apa yang aku dan orang banyak lihat. Tapi aku tak tahu, apa alasan dia memberimu angin segar seolah-olah ia juga akan membalas cintamu. Sebuah permainan yang entah akan menguntungkan siapa telah mereka ciptakan. Mereka. Dia dan sahabatmu. Sahabatmu yang selama ini kau tahu kekasih dari sahabat mu yang lain juga. Iya, kau benar! Mereka telah berkhianat!
            Terkadang aku memikirkan nasibmu. Aku prihatin. Aku begitu takut kau terluka oleh kenyataan itu. Sebagai orang yang mencintaimu, aku hanya bisa diam. Lidahku kelu untuk mengatakan semua itu. Aku takut jika aku bercerita, kau akan menduga jika aku tengah berusaha membunuh cintamu dengannya. Aku tak ingin kau membenciku. Untuk itu aku memilih bungkam!
            Sekarang aku telah jauh dari hidupmu. Tak akan lagi kau temui aku di depan pintu itu. sekarang aku berada di kota kelahiran ku. Aku memilih meninggalkanmu yang sejatimya tak pernah ku miliki. Memilih berhenti memyaksikan sandiwara mereka. Aku seolah menyaksikan sebuah perisriwa pembunuhan namun tidak berani bersaksi di pengadilan kala itu.
            Malam ini, aku memutuskan untu menulis surat ini. Mencoba memberi tahu apa yang tidak kau ketahui. Aku telah menghapus nomor ponselmu. Juga menutup semua akun jejaring sosialku. Aku tak ingin punya akses untuk tahu kebarmu. Aku mengasingkan diri. Aku terluka oleh cintaku sendiri. Bukan. Bukan kerena kau tak membalas cintaku. Tapi karena aku tak berani berkata “aku mencintaimu selama ini”. Kau tidak akan tahu betapa aku membenci malam semenjak memutuskan meninggalkan kota Jakarta. Betapa aku membenci hujan semenjak aku memutuskan pergi dari hidupmu. Malam dan hujan hanya akan membawaku pada ingatan tentangmu. Demi Tuhan, teramat perih hati ini jika hal itu terjadi.
            Tidak semua kisah berakhir indah. Tak terkecuali kisahku.surat ku hanya ingin memberi tahu apa yang aku rasa dan lihat. Tuhan bersamaku ketika memutuskan menulis surat ini.sehingga aku tegar. Sehingga aku bisa terus menulis walau aku menangis. Tidak mudah melupakanmu. Kotak harapan yang dulu aku punya, kini telah ku buang, ketika dokter telah mengamputasi kakiku. Aku kini cacat. Mana mungkin aku terus menabung harapan kelak kau akan bersamaku pada kotak itu. Aku dengan kedua kaki ku yang masih utuh ketika berdiri menantimu dipintu itu saja tak kau hiraukan. Apa lagi aku yang sekarang yang hanya punya satu kaki!!! Aku saksi dari sandiwara ini, juga korban dari permainan ini. Kau tahu siapa yang telah mengambil sebelah dari kaki ku? Mereka! Dia dan sahabatmu. Mobil yang mereka tumpangilah yang telah menggerus kaki ku sepulang dari kantor. Seusai aku mendengar percakapan mereka tentang ‘ketololan’ mu.
            Sekarang,kau tak perlu menyambut hati ini. Kau tak perlu mengganti kaki ini. Jangan pernah berpikir untuk mencari dan menemui ku. Tempatku sekarang adalah di sebuah pantai tak bertepi, kau akan kesulitan mencari alamatku. Sekali lagi, tak semua kisah berakhir indah. Tak terkecuali kisahku. Kau tahu tentang rasa ini pada akhrirnya, mungkin adalah akhir dari kisah ini. Aku mencintaimu. Sekali lagi, aku mencintaimu…

                                                                                                Netri…..