Sebuah Surat Terbuka Untuk Walikota
Pariaman
Aku hanya seorang gadis kecil yang
coba menulis sesuatu padamu yang pantasnya ku panggil Mamak, bukan, Pak. Surat
ini bukan suatu bentuk pembangkangan, kagadang-gadangan
atau sok mengajari pandeka basilek.
Sepuluh jari kemenakan susun beserta kepala, memohon maaf apabila ada kata-kata
kemanakan yang patut dibimbing ini yang tidak enak Mamak baca.
Mamak, disini aku ingin berbicara
tentang orgen tunggal di Pariaman. Kemenakan kecilmu ini kini telah beranjak
dewasa, hingga ketika aku menyaksikan orgen tunggal yang menampilkan biduannya berpakaian minim, seolah-olah aku yang sedang ditelanjangi, ditonton dan
dijadikan objek tertawa licik para lelaki yang puas menatapnya. Aku malu!
Hingga sebelum acara itu usai aku
sudah lebih dulu pergi karena terbayang apa yang akan aku saksikan selanjutnya.
Ya, seperti yang sudah-sudah, seperti yang sama-sama diketahui, seperti yang
sudah mulai dimaklumi, para biduan wanita itu akan melecuti beberapa bagian
pakaiannya lebih minim lagi, lebih terbuka lagi, lebih memancing hawa nafsu
lagi, lalu mereka bersama pemuda-pemuda bahkan mamak-mamak yang tengah mabuk
akan berpesta pora. Bergoyang seolah lupa siapa mereka. Apa kedudukan mereka. Seorang mamak
akan lupa memberi contoh yang baik pada kemenakannya. Pemuda yang masih sekolah
lupa akan apa tanggungjawabnya esok pagi. Dan itu berlangsung hingga pukul
empat pagi. Hampir mendekati subuh. Dan hal tersebut digelar diruang terbuka.
Maka akan sangat miris lagi ketika
pagi-pagi beberapa bocah usia sekolah dasar menceritakan perihal apa yang
dilihatnya dari gelaran orgen tunggal semalam yang ditontonnya itu pada teman
sebayanya. Menceritakan bagaimana terbukanya pakaian biduan-biduan wanitanya.
Menyebutkan nama-nama orang kampungnya yang mabuk berat malam itu, dan
menceritakan siapa-siapa saja yang memeluk biduan wanita seraya memberi
beberapa lembar uang saweran. Miris! Bocah sekecil itu menurutku hanya boleh bercerita
tentang bagaimana ia menyelesaikan PR Matematikanya semalam. Bukan bercerita
tentang tontonan tak pantas yang disuguhkan kakaknya, ayahnya, mamak-mamaknya
dan tetangga-tetangganya.
Lebih miris lagi ku saksikan di kota
ini, nasionalisme pemudanya hanya sebatas gelaran orgen tunggal. Mereka menanti
datangnya hari peringatan kemerdekaan demi berpesta dengan orgen tunggal dengan goyangan eotis lengkap dengan minuman
keras, lalu acara itu dikemas dengan tajuk ALEK PEMUDA. Apa dengan begitu mereka akan tahu bagaimana perjuangan
para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan mungkin lagu wajib Indonesia
raya saja mereka tak tahu. Mereka lebih hafal judul lagu dangdut koplo yang
membuat goyangan mereka semakin asyik dan malam mereka semakin panas. Toh
kemerdekaan bagi mereka adalah sebatas bebas bermabuk-mabukan dan bebas menikmati
aurat yang dipertontonkan.
Aku bukan ahli agama, Mamak. Tapi
yang aku tahu mengumbar aurat itu berdosa. Meliuk-liukan badan dengan pakaian
super pendek itu berdosa. Melelang harga diri dengan beberapa lembar rupiah yang diserukan
dengan pengeras suara itu amat berdosa. Minuman keras itu berdosa. Bukankah
oranng Minang terkenal dengan adat istiadat dan agamanya? Lalu kenapa Pariaman
kini seolah menjadi Pantura jilid dua?
Aku teringat himbauan “Maghrib
mengaji” yang Mamak serukan dulu. Lalu kenapa tak bisa mamak buat himbauan “Pariaman bebas
orgen tunggal”? Jikapun rumah orang baralek dan alek pemuda harus dihibur orgen
tunngal, kenapa tak tegas tegakkan aturan orgen tunggal hanya boleh hingga
pukul dua belas malam saja dengan menjunjung tinggi adat kesopanan dan nilai
agama?
Aku yang bodoh ini menangkap adanya
pergeseran nilai di ranah yang begitu ku sanjung ini, Mamak. Jika dulu
kemenakan segan bertemu mamak di lapau, kini kemanakan dan mamak duduk bersama
bermain domino. Bahkan menonton orgen dilokasi yang sama dengan kelakuan yang
sama. Begitu sedih aku mendapati hal tersebut. Seolah-olah Minang kabau kini
tak lagi bisa dijadikan panutan. Seolah-olah nilai-nilai kesopanan
dipertaruhkan demi tameng “hiburan”.
Lakukanlah sesuatu, Mamak! Anggaplah
biduan wanita itu, pemuda-pemuda itu dan anak-anak kecil yang gemar menonton orgen
tunggal itu adalah kemenakan-kemanakanmu juga yang pantas Mamak ajari hal-hal
baik dan Mamak lindungi dari segala yang tercela. Tak ku minta biduan-biduan
seksi itu lantas berbaju kurung, Mamak, setidaknya buat mereka lebih menghargai
badan mereka sendiri. Jjika tidak bisa mamak buat pemuda-pemuda itu kembali ke
Surau, setidaknya buat mereka kembali ke rumah orang tuanya lebih awal. Aku
menulis surat terbuka ini bukan berangkat dari resahku sendiri. Namun dari
resahnya Bundo Kanduang oleh dunia yang tak lagi “talok diaja”. Aku sadar
benar, Mamak bukanlah orang yang patut dipersalahkan. Ada orang tua, niniak mamak, dan urang tuo di kampung-kampung yang harusnya lebih paham menjaga anak
kemenakannya. Tapi bolehkah aku memohon, Mamak? Datanglah ke lapau-lapau tiap
kampung itu, temuai tiap niniak mamaknya, beritahu mereka apa yang seharusnya
mereka lakukan. Ingatkan mereka jikalau lupa. Berbincang-bincanglah di lapau dengan mereka, sebagaimana biasa Mamak lakukan di masa-masa kampanye dulu.
Aku mohon diri mengakhiri surat ini,
Mamak. Aku masih harus memeriksa hasil ulangan anak didikku yang mengerjakan
ulangan dengan mata terkantuk-kantuk ulah orgen tunggal ‘bahoyak’ dikampung mereka
semalam….
Netri
Olala…
Saya sebagai orang minang berdomisili di Jambi sungguh sangat setuju dgn pesan2 kemenakan kita ini, karna adat bersandi sarak, sarak bersandi kitab Allah nah itulah minang kabau.
BalasHapusTerimakasih
HapusSaya sangat sangat setuju....
BalasHapusSy juga setuju klu visa tujukan juga me bupati
BalasHapusTulisannya bagus bu guru, saya setuju sekali, mdh2an kl kepala daerah yg membuat kebijakan, akan semakin optimal pengaturannya.
BalasHapusTulisannya bagus bu guru, saya setuju sekali, mdh2an kl kepala daerah yg membuat kebijakan, akan semakin optimal pengaturannya.
BalasHapusSegeralah bertindak mamak....!! Sebelum digoyang kembali oleh Yang Maha Kuasa
BalasHapusTulisannya bagus bu guru, saya setuju sekali, mdh2an kl kepala daerah yg membuat kebijakan, akan semakin optimal pengaturannya.
BalasHapusTulisannya bagus bu guru, saya setuju sekali, mdh2an kl kepala daerah yg membuat kebijakan, akan semakin optimal pengaturannya.
BalasHapusTulisannya bagus bu guru, saya setuju sekali, mdh2an kl kepala daerah yg membuat kebijakan, akan semakin optimal pengaturannya.
BalasHapusKami yang di rantau mandukung panuah keresahan hati adiak2 ketek kami,bagi mamak-mamak kami jo pemuka adaik yg ado dikampuan tolong rangkul kamanakan, dunsanak ka fitrah minah adaik basandi sarak, sarak basandi KITABULLAH yg mulai tergerus oleh budaya luar.
BalasHapusBukan di Pariaman sajo,,, ambo raso di daerah kito nan lain,,, kemungkinan ado juo nan spt itu,,, surat bu guru kito iko,mdhan2 di daerah lain jga ter inovasi tuk berbuat sama dengan bu guru kito iko.... salut...... maju terus bu guru.
BalasHapusSatuju sangaik,,,Itu nan dipintak handaknyo,raso pareso nan salamo ko anak2muda kito bnyak nan lupo kato Mandaki malereang Manurun Jo kato Mandata mari samo kito mulai dari diri kito dgn keluara sarato linkuangan tampek tingga kito!
BalasHapusBatua kecek buk guru ko....ayo pak wali ...!!?
BalasHapusBatua kecek buk guru ko....ayo pak wali ...!!?
BalasHapus3 tali sapilin harus dibuatkan perdanya, dan bagi oknum masyarakat perantau ingat,,, jgn mentang2 duit agak banyak bisa dibuat baaralek apo takana dihati, marilah kita lihat tatanan org minang beradat, ini pun yg banyak terjadi di rumah pribadi yg baralek, mau dikemanakan muka, pokoknya PKDP SIAK RIAU tidak setuju organ tunggal malam, marilah kita hidupkan
BalasHapusbudaya kito nan elok misal tambua tasa, rabab, basilek dll
Salut pada Mu Guru, semoga pariaman ke depan bisa berubah. 'Mamak' Kita bisa pula memberantas hiburan yang menyesatkan ini. amin
BalasHapusKamari tarumik mah.. baa ka baa pak wali ko kamari bedo.. tapi ndak ado caro lain kecuali pak wali jo bupati sapakak buek aturan jo perda.. tapaso main karek kayu lai kalau jo kecek dan nasehat ndak mangkuih lai...
BalasHapusTerimakasih atas dukungannya, Dunsanak..
BalasHapusSetuju sekali dengan tulisan ini. Saya menamakannya "Runtuhnya Adat Kita."Memang Minangkabau hari ini berbeda dengan Minangkabau dulu. Budaya Barat telah merambah Minangkabau.Pemerintah Sumatera Barat harus mampu mengurangi gejala-gejala negatif seperti ini.http://dasmandjamaluddinshmhum.blogspot.com
BalasHapuskalau dapat menurut saya lebih baik acara orgen malam di tiadakan dan di beri sanksi bagi yang melanggarnya agar generi muda tidak lebih rusak lagi karena kita lihat sekarang ini sudah banyak generasi yang rusak akibat kemajuan teknologi ,tolong suratnya di tanggapi baik itu bapak wali kota maupaun bupati
BalasHapusMakasi buat surat nya kak semoga pemerintah kota pariaman ini lebih tegas lagi menyikapi masalah yg bersangkutan dngan norma ini semoga pemerintah kota ini tdk hanya mementingkan pariwisata saja.....
BalasHapusNamun juga memperhatikan generasi muda kelak.....
Kami butuh kepastian bukan janjimu saja!!! Pemerintah kota ku
Ambo malu...sebagai urang awak..di carito..nan sudah2.awak lah urang nan baradaik..nan tahu Jo agamo..urang lain..pun..tau.. itu..tapi itu hanyo tinggal carito .kehancuran adaik awak..hancuie dari dalam..
BalasHapusAmbo mendukung panuah pemikiran seperti iko..
Banyak urang Minang merindukan adaik Minang itu..dari urang rantau..di kampuang awak Bana urang Ndak marindukan..adaik Jo..agamo.lai doh(sebagian)...itu memprihatinkan kan..
Suaro kan lah..suaro Minang..Jo adaik..Minang..,, sebagai jati diri awak urang Minang...
Jan..sampai Minang hanyo tingga carito..
TaRIMO KASeh.. mohon maaf klo klo ado nan salah..