Páginas

Selasa, 28 Juni 2016

Pinangan dari Selatan; Sastra yang Dibungkus Politik dan Sejarah


Membaca novel Pinangan dari Selatan, berarti tak hanya sekedar membaca kisah tokoh-tokoh di dalamnya dengan rentetan-rentetan peristiwa yang dibungkus keindahan kata. Namun juga membaca buku sejarah dengan dialog-dialog ringan dan bahasa kekinian. Dan membaca buku politik dengan suguhan intrik-intrik yang menarik. Sastra, sejarah, dan politik. Ya, Indra Jaya Piliang ‘hidup’ di ketiga unsur tersebut.

Novel adalah catatan pengalaman-pengalaman batin penulisnya. Bertahun-tahun pengalaman batin itu dirasakan, disimpan, lalu dituliskan. Butuh waktu juga untuk menyelesaikan dan menerbitkan. Sedangkan pembaca, begitu egoisnya melahap pengalaman-pengalaman batin tersebut dengan bara api penasaran di matanya. Saya, termasuk pembaca yang egois tersebut, dua hari sejak novel pertama dari Indra Jaya Piliang itu memasuki “Goa” saya, novel itu selesai saya telanjangi isinya. 420 halaman yang berkesan. 420 halaman yang mendebarkan. Serasa Gadis-gadis Selatan ikut menghantar saya ke tiap-tiap bab-nya.

Berbeda dengan film, novel membebaskan pembaca menvisualisasikan sendiri cerita yang dibaca. Visualisasi tempat, adegan, tokoh-tokohnya bebas kita tentukan sendiri dengan sedikit bantuan deskripsi penulisnya. Dan, tokoh Tentra yang tervisualisasi di alam pikir saya adalah sosok penulisnya sendiri. Tentra anak Desa dari Pariaman. Ayahnya petani. Namun berhasil menembus Universitas terbaik di Ibu Kota. Ingatan saya diantar menuju buku “Mengalir Meniti Ombak” dari penulis yang sama. Ya, itu tadi, mungkin ini adalah sebilah pengalaman batin penulisnya yang dituang dalam diri tokoh ciptaannya dalam Novel ini.

Ketika menemukan sesuatu yang ‘liar’ dalam novel ini saya bertanya dalam hati berkali-kali “Benar ini novel yang nulis Indra Jaya Piliang?” Tapi bukankah tidak harus menjadi liar untuk menulis sesuatu yang liar? Penulis yang baik pantang memalsukan ide dan gagasan hanya karena takut dicap macam-macam. Indra Jaya Piliang sukses menegaskan hal itu. Gambaran dunia malam beliau sibak lengkap dengan ornamen-ornemennya. Kehidupan paling private tak terawas mata beliau kuliti dalam novel ini terang-terangan. “Beliau tahu dari mana? Batin saya. Oh lupa, beliau pengamat yang baik. Mungkin apa yang tertuang dalam novel ini juga sedikit menjadi kajiannya dulu. Hehe, mungkin lho, ini!

Pinangan dari Selatan adalah sebuah novel yang unik. Uniknya novel ini dapat dilihat pada nama-nama tokoh yang anti mainstream; Tentra, Umangi Siberuti, Cecilia Pacitani, Uleta, Rabita, Anonina, Anggreki Ciliwungi adalah beberapa diantaranya yang terdengar aneh namun punya filosofi sendiri-sendiri. Disamping konflik menggelitik yang penuh intrik tentunya. Bahkan begitu menggelitiknya konflik yang disajikan dalam novel ini, saya harus berulangkali kembali ke halaman sebelumnya untuk dapat memahami jalannya cerita dengan baik. Alur dalam novel ini merupakan alur campuran yang seperkiandetik-nya bisa membawa pembaca ke masa lalu, kemudian diantar lagi ke masa sekarang. Imajinasi saya  berkali-kali dihempas pada dunia zaman peradaban dengan tekhnologi dan sosial media sebagai ciri, kemudian dihempas lagi menuju dunia Mitologi. Novel ini menembus dua dunia yang bertentangan waktu dan pola pikir.

Ending novel ini tidak mudah ditebak seperti novel novel kebanyakan. Saya baru sadar bahwa cerita dalam novel ini adalah cerita Habil dan Qabil anak-anak Nabi Adam dalam versi manusia-manusia selatan rekaan Indra Jaya Piliang.

Sastra entah dalam apapun bentuknya, pasti memiliki pesan yang ingin di sampaikan. Tak terkecuali novel Pinangan dari Selatan ini. Pada tiap-tiap tokoh diselipkan pesan untuk pembaca. Saya tidak mau membahasnya terlalu dalam disini. Takut tulisan ini malah jadi seperti makalah analisis novel berhalaman-halaman. Hanya saja, dapat saya sampaikan bahwa, novel ini bertitip pesan pada pembaca bahwa dendam perempuan bisa menjadi semacam alaram dalam kehidupan. Kehidupan pada orang yang menyakiti. Atau pada yang belum dan berniat menyakiti. Alarm itu  menjadi pengingat bahwa lemahnya seorang perempuan menjadi titik balik kekuatannya yang tidak terkalahkan. Perempuan bersama tubuhnya mungkin bisa dibeli namun tidak dengan prinsipnya. Wanita-wanita selatan yang tengah menaruh dendam dihatinya, tubuhnya terlihat menawan, tercium harum semerbak, namun ketika dendam itu akan dikibaskan, menawan itu berubah menyeramkan, harum semerbak itu berbau bangkai bagi yang menjadi tawanan.

Uleta, bocah kecil yang hidup di tengah kemiskinan, kemudian tumbuh besar di tengah-tengah keluarga yang memberinya kasih sayang yang cukup, makan yang cukup, juga pendidikan. Ia terkesan pada kasih sayang seorang kakak angkat bernama Hendaru. Kasih sayang yang tulus. Cinta yang membuatnya terkesima. Namun beranjak dewasa, Uleta harus menerima kejadian pahit namun nyata. Hendaru meninggal dunia di tangan preman ketika beraksi menyerang diskotik Kurva yang di dalamnya perempuan seolah tak lagi berharga dan penuh dosa. Pilunya, peristiwa itu terjadi di malam ulang tahun Uleta. Malam dimana ia menanti kakak angkatnya datang membawa bunga sedap malam kesukaannya. Meranalah Uleta kehilangan kasih sayang yang entah kemana lagi ia cari dan dapatkan. Lalu menyalalah dendam. Kehilangan Hendaru menjadi alasan Uleta mencari pembunuhnya.

Uleta menginjakan kaki di dunia malam yang sebelumnya samasekali tidak pernah terbayangkan. Meski awalnya canggung, namun pencarian siapa pelaku pembunuh Hendaru menguatkannya. Ritmi, teman sekelas yang lebih dulu menjadi wanita malam di diskotik Kurva ikut meguatkan. Selain Mami Cecilia yang bertindak sebagai germo ikut membuat nyaman Uleta di dunia barunya. Siapa sangka, tak hanya Uleta yang akan membalaskan dendam, keturunan-keturunan gadis selatan lain juga hidup dengan memelihara dendam seperti Cecilia, Rabita, dan Anonina. Tokoh Tentra yang agamis dan puitis menjadi pemanis dendam gadis-gadis selatan. Tentra disukai Cecilia, Uleta dan Anonina. Namun Tentra harus jujur memiliki segenggam rindu setelah cukup lama Cecilia menghilang dari kehidupannya.

Lalu ending cerita seperti apa yang disugukan Indra Jaya Piliang dalam novel ini? Bagaimana dengan dendam para gadis selatan? Seperti yang saya katakan di awal. Sungguh tidak tertebak. Silahkan miliki dan baca novelnya, ya :D

Netri Olala


Tidak ada komentar:

Posting Komentar