Padang,
04 Juli 2012
Teruntuk Seseorang
yang Teramat Sangat Aku Cintai, Bernama Tegar..
Entah
dengan salam yang seperti apa untukkuku harus memulai surat ini. Tapi haruskah
sebuah surat diawali salam? Sama halnya dengan mencinta, haruskah punya alasan?
Dan aku, haruskah aku memberi alasan untuk menulis surat ini diawal padamu? Ku
rasa tidak! Nanti kau akan tahu sendiri alasan ku berkirim surat padamu.
Selama
ini, aku berdiri di pintu sebuah tempat dimana tugas mempertemukan kita disana.
Aku menantimu dengan sabar ku. Dengan rindu mataku untuk menangkap sosokmu,
juga dengan cintaku. Satu, dua jam tak masalah bagi ku. Keterlambatanmu, aku
pahami. Walau aku harus berkali-kali mengeluarkan kaca dari dalam tas ku untuk memastikan dandanan ku tak berantakan.
Ketika sosokmu
sudah terlihat dari kejauhan, aku memastikan lagi riasan wajah dan rambutku tak
berantakan. Kali ini aku telah berdamai dengan waktu. Senyum juga telah singgah
di wajahku. Ketika kau semakin dekat, jantungku berdetak lebih hebat. Senyumku
tak karuan dan harapan ku untuk kau tanya apa kabar ku hari ini, lebih besar.
Namun, yang sering ku dapati dari menantimu di
pintu itu hanya senyum kecil darimu. Entah kau melakukan itu dengan sadarmu
atau tidak. Tapi percayalah, senyum
kecilmu hari demi hari ketika akan memasuki ruangan itu, ku simpan dalam
sebuah “kotak” yang bernama harapan. Harapan di suatu hari kau akan berkata
“Hai Netri. Apa kabar hari ini?”. Dan aku telah mempersiapkan jawaban atas
pertanyaan itu lengkap dengan cara tersenyum ketika menjawab pertanyaan itu. Senyum
terbaik dari yang ku punya tentunya. Namun, hari demi hari kau hanya tersenyum untukku. Senyum yang
menggambarkan ketidaktahuanmu alasan ku berdiri di pintu itu. Hingga akhhirnya,
aku mulai lupa dengan jawaban yang telah lama ku persiapkan, beserta cara
tersenyum yang ku praktikan di depan kaca sepulang dari tugas itu.
Ketika
kau akan pulang, aku selalu setia mengantarmu hingga ke depan pintu itu.
Berharap kau akan membalikan badanmu dan berkata “sampai jumpa besok”. Namun
kalimat itu tak pernah ku dapat darimu. Bahkan hati ku kau buat hancur, ketika
kau lebih ramah dan banyak bicara dengan wanita yang berdiri di pintu ruangan
sana. Kau terlihat akrab dengannya. Bahkan kau melambaikan tanganmu ketika akan
meninggalkannya. Mengapa kau tidak pernah melakukan hal semacam itu padaku?
Wanita itu tidak tahu apa-apa. Ia tidak punya alasan berdiri di pintu itu.
Berbeda denganku, aku tahu apa alasan ku berdiri di pintu itu , dan aku akan tetap
berdiri menantimu di pintu itu. karena aku mencintaimu. Tapi dia tidak! Dia
berdiri di pintu itu bukan untukmu. Kenapa kau lebih tertarik padanya?
Dia memang cantik. Jika kau mencoba
membanding-bandingkan aku dengannya, maka kau tidak akan pernah menemukan celah
untuk membanggakan apa yang aku punya dari padanya. Kau akan terus gagal
mengidentifikasi keindahannya pada diriku. Keindahan yang telah membuatmu dan
sahabatmu terkesima. Iya, sahabatmu. Sahabatmu mencintainya, dia juga mencintai
sahabatmu, sedangkan kau juga mencintainya, padahal aku mencintaimu. Kau tak perlu terperanjat kaget
mengetahui hal ini. Pesonanya telah membuatmu buta, hingga kau tak mampu melihat
apa yang aku dan orang banyak lihat. Tapi aku tak tahu, apa alasan dia
memberimu angin segar seolah-olah ia juga akan membalas cintamu. Sebuah
permainan yang entah akan menguntungkan siapa telah mereka ciptakan. Mereka.
Dia dan sahabatmu. Sahabatmu yang selama ini kau tahu kekasih dari sahabat mu
yang lain juga. Iya, kau benar! Mereka telah berkhianat!
Terkadang
aku memikirkan nasibmu. Aku prihatin. Aku begitu takut kau terluka oleh
kenyataan itu. Sebagai orang yang mencintaimu, aku hanya bisa diam. Lidahku
kelu untuk mengatakan semua itu. Aku takut jika aku bercerita, kau akan menduga
jika aku tengah berusaha membunuh cintamu dengannya. Aku tak ingin kau
membenciku. Untuk itu aku memilih bungkam!
Sekarang
aku telah jauh dari hidupmu. Tak akan lagi kau temui aku di depan pintu itu.
sekarang aku berada di kota kelahiran ku. Aku memilih meninggalkanmu yang
sejatimya tak pernah ku miliki. Memilih berhenti memyaksikan sandiwara mereka.
Aku seolah menyaksikan sebuah perisriwa pembunuhan namun tidak berani bersaksi
di pengadilan kala itu.
Malam
ini, aku memutuskan untu menulis surat ini. Mencoba memberi tahu apa yang tidak
kau ketahui. Aku telah menghapus nomor ponselmu. Juga menutup semua akun
jejaring sosialku. Aku tak ingin punya akses untuk tahu kebarmu. Aku
mengasingkan diri. Aku terluka oleh cintaku sendiri. Bukan. Bukan kerena kau
tak membalas cintaku. Tapi karena aku tak berani berkata “aku mencintaimu
selama ini”. Kau tidak akan tahu betapa aku membenci malam semenjak memutuskan
meninggalkan kota Jakarta. Betapa aku membenci hujan semenjak aku memutuskan
pergi dari hidupmu. Malam dan hujan hanya akan membawaku pada ingatan
tentangmu. Demi Tuhan, teramat perih hati ini jika hal itu terjadi.
Tidak
semua kisah berakhir indah. Tak terkecuali kisahku.surat ku hanya ingin memberi
tahu apa yang aku rasa dan lihat. Tuhan bersamaku ketika memutuskan menulis
surat ini.sehingga aku tegar. Sehingga aku bisa terus menulis walau aku
menangis. Tidak mudah melupakanmu. Kotak harapan yang dulu aku punya, kini
telah ku buang, ketika dokter telah mengamputasi kakiku. Aku kini cacat. Mana
mungkin aku terus menabung harapan kelak kau akan bersamaku pada kotak itu. Aku
dengan kedua kaki ku yang masih utuh ketika berdiri menantimu dipintu itu saja
tak kau hiraukan. Apa lagi aku yang sekarang yang hanya punya satu kaki!!! Aku
saksi dari sandiwara ini, juga korban dari permainan ini. Kau tahu siapa yang
telah mengambil sebelah dari kaki ku? Mereka! Dia dan sahabatmu. Mobil yang mereka
tumpangilah yang telah menggerus kaki ku sepulang dari kantor. Seusai aku
mendengar percakapan mereka tentang ‘ketololan’ mu.
Sekarang,kau
tak perlu menyambut hati ini. Kau tak perlu mengganti kaki ini. Jangan pernah
berpikir untuk mencari dan menemui ku. Tempatku sekarang adalah di sebuah
pantai tak bertepi, kau akan kesulitan mencari alamatku. Sekali lagi, tak semua
kisah berakhir indah. Tak terkecuali kisahku. Kau tahu tentang rasa ini pada
akhrirnya, mungkin adalah akhir dari kisah ini. Aku mencintaimu. Sekali lagi,
aku mencintaimu…
Netri…..