Minggu, 31 Januari 2016

Pesan Cinta Untuk Pemuda Kota Pariaman


“BERI AKU SEPULUH PEMUDA, MAKA AKAN AKU JADIKAN PREMAN DI KAWASAN WISATA!”

            Saya tidak sedang membecandai Soekarno dengan membuat plesetan atas seruannya yang amat terkenal tentang pemuda:

“BERI AKU SEPULUH PEMUDA MAKA AKAN AKU GUNCANG DUNIA!”

Saya tidak sedang melucu, karena permasalahan ini bukan lelucon. Ini masalah serius. Ini masalah mental. Tulisan ini berangkat dari patah hati saya karena pemuda dalam seruan Bung Karno yang tak lagi terepresentasi oleh pemuda kini. Saya tidak berani berbicara tentang pemuda Indonesia. Saya hanya ingin berbicara tentang pemuda di kota saya. Dimana sebagian dari mereka kini lebih memilih menjadi “tukang parkir” dan “petugas kebersihan” dadakan!
Lewat tulisan ini, saya ingin berkirim pesan cinta…

"Teman-temanku, pemerintah kota tengah berbenah di sektor wisata. Di sepanjang pantai Nareh hingga pantai Kata, sedang dipercantik agar indah dipandang mata. Tujuannya tak lain adalah wisatawan domestik hingga mancanegara datang ke kota kita. Pendapatan daerah bertambah, dan perekonomian masyarakat sekitar ikut menggeliat. Ada pedagang nasi sala, nasi sek, sala lauak, es kelapa muda dan pedagang-pedagang kecil lainnya yang menanti pengunjung pantai datang membeli dagangannya. Lalu, apa dengan uang palak bartameng uang parkir atau uang kebersihan yang kalian minta, kalian tega memupuskan harapan mereka? 

Kontribusi kita terhadap pariwisata kota tercinta ini bukan itu. Peran kita sebagai masyarakat lokal adalah menjaga kenyamanan pengunjung dengan ramah tamah agar dikemudian hari mereka kembali lagi, bukan meminta uang kebersihan dimana mereka duduk santai menikmati makanan yang mereka bawa. Bukan meminta uang parkir di setiap titik mereka berhenti untuk mengambil foto.

Jika di kampung kita dibangun spot wisata baru, dukung siapa saja yang punya inisiatif selagi positif. Bukan memusuhi dengan mengambil alih apa yang sudah dibangun yang kita belum tentu bisa handle semuanya. Bukan “Iko kampuang den, aden nan bagak. Waang sia?”

            Jika begini terus, kapan Pariaman akan maju? Kemajuan sebuah kota bukan tercermin dari pembangunan fisik saja, namun juga mental masyarakatnya.

            Kenapa kita tidak bisa kreatif seperti pemuda Bandung, Yogyakarta, ataupun Bali. Mereka membuat souvenir khas daerah mereka. Mereka beradu kreativitas dengan menciptakan clothing line sendiri yang tidak dibanderol harga tinggi, hingga semua wisatawan dapat membawa pulang buah kreativitas mereka. Mereka tidak sekedar duduk-duduk di kawan wisata lalu menjadi tukang parkir liar atau petugas kebersihan dadakan untuk mengeruk uang pengunjung saja. Be open minded people, please! Jika wisatawan menjadi enggan mengunjungi (lagi) kota ini, maka jadilah Pariaman kota mati.

            Teman-teman, kalian yang melaut, teruslah melaut. Cari ikan yang banyak lagi segar. Jual pada pemilik rumah makan. Kalian yang dulunya tukang ojek motor yang sepi penumpang, jadilah tukang bendi agar wisatawan bisa menyusuri pantai lewat jasa kalian, dan mintalah tarif normal saja. Kalian yang masih sekolah atau kuliah teruslah sekolah dan kuliah, Pariaman butuh pemikiran kalian ke depan. Kalian yang sama sekali tidak mempunyai pekerjaan, belajarlah membuat miniatur kapal Dewaruci pada Angah Black. Jika Bali punya patung Legong keraton, Pariaman punya kapal Dewaruci. Bukan bermaksud menggurui, hanya memberi usul tanda peduli. Salam cinta, salam damai, dan salam perubahan."
                       
                                                                                                                                                                                                                                                                             Netri Olala, 24 Januari 2016


Sedikit Catatan: Silahkan copas tulisan ini dengan masih mencantumkan sumber aslinya!

Minggu, 24 Januari 2016

Perkenalkan Pulau Bando, Karena Pariaman Tak Melulu Soal Pulau Angso Duo

Jika kamu seorang taveller, terlebih pengagum pesona laut, maka lengkapi album travelling kamu dengan mengunjungi salah satu pulau yang berada di Pariaman, yakni pulau Bando. Pulau Bando adalah pulau yang masuk pada perairan kota Pariaman namun dinyatakan milik Provinsi Sumatra Barat karena tidak dikelola oleh pemerintah Kota. Pulau Bando memiliki luas kurang lebih 7,2 hektre dan masih terbilang asli karena ditumbuhi pohon kelapa dan beberapa tumbuhan lainnya.

Namun, ketika rombongan kami yang dikepalai oleh Bpk. Indra Jaya Piliang berkunjung ke pulau yang satu jam lebih perjalanan dari Tiram Ulakan, Padang Pariaman ini, kemarin (23/01/16), terlihat pulau ini tengah dipercantik dengan diciptakannya Landmark ‘Pulau Bando’ yang belum finish pengerjaannya, juga dikebutnya pembangunan sebuah homestay bergaya etnik dengan kayu pernis yang cantik. Terlebih dahulu, sebuah Gazebo sudah berdiri kokoh yang pada akhirnya menjadi tempat istiahat dan makan siang kami.

Perjalanan menuju pulau ini sangat ekstrim. Kapal yang kami tumpangi kerap kali mengeluarkan suara yang cukup keras ketika memecah ombak. Belum lagi angin cukup kencang menyerang, membuat kapal kami oleng ke kiri dan kanan. Saya hanya bisa berdoa memohon keselamatan dari dalam kapal, sementara bapak Indra Jaya Piliang, Bang Joze Rizal, Bang Budy Sukmadianto, Uncu Muhardi Koto dan Ramadanus Weri dengan gagahnya berdiri melawan ombak di depan kapal. Benar-benar awak kapal yang tangguh lagi baik :D.


(Berangkat dari Tiram, Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman)    
      
Setelah satu jam setengah dihempas gelombang laut, maka sampailah kami di Pulau Bando. Saya senang dan mengucap syukur masih diberi keselamatan. Paling tidak para artis orgen tidak menggelar syukuran atas ketidakselamatan saya #eh #salahfokus #maaf.

Berikut tangkapan kamera momen-momen bahagia kami di Pulau Bando.


                  
(Wajah Sumringah setelah lepas dari hempasan gelombang selama satu setengah jam)

                                                
(Berfoto di depan Landmark Pulau Bando)

Landmark-nya full colour sekali, lain dari yang lain. Anti Mainstream..



                                       
(Makan siang di Gezebo yang baru selesai dibangun)

Oh iya, mengenai kebutuhan konsumsi seperti makan dan minum kami bawa sendiri, ya, karena tidak ada pedagang yang berjualan disini. Sebelum keberangkatan dari Tiram, Ulakan, kami pesan nasi bungkus terlebih dahulu. Tapi jika kamu berangkat dengan ambil paket, makan siang akan difasilitasi penyelenggara wisata.


                             
(Kalau udah makan siang baru boleh manjat-manjat landmark gini)


     (Main pasir juga boleh :D)


                                         
(Pak Indra Jaya Piliang Memancing di laut biru Pulau Bando)


(Wawancara Pak Indra Jaya Piliang dengan seorang wartawan perihal potensi Pulau Bando)  



                                     
(Winda dengan karang-karang kecil yang indah)

Jika kamu berkunjung ke pulau ini, mohon tetap jaga keseimbangan alam, ya! Karang-karang kecil yang menjadi ornamen sepanjang pantai pulau ini jangan di ambil lalu di bawa pulang. Karena di pulau angso sudah sedikit sekali onamen-ornamen ini, padahal dulu banyak.

Keaslian dan keindahan warna laut seperti ini juga patut dijaga. Jangan buang sampah sembarangan!

(Bang Budy Sukmadianto Diving di bawah Laut Pulau Bando)

Mohon maaf jika kualitas foto kami kurang bagus, atau bidikan kamera kami kurang profesional. Tapi percayalah, kebahagiaan kami sangat maksimal.  Saya bukan travel blogger profesional, hanya sedang mencoba mengabadikan sebuah perjalanan sederhana lewat tulisan ini. Maka, ayo angkat tas kamu, kunjungi pulau Bando dan bidik dengan kamera profesionalmu agar dunia tahu pulau Bando juga memiliki potensi wisata tak kalah oleh pulau lainnya.

Sekedar informasi, pulau Bando sudah dibuka untuk umum dan jumlah pengunjung dibatasi 50 orang perhari demi menjaga keseimbangan alam di Pulau tersebut. Dan jika kamu tertarik mengunjungi pulau Bando silahkan hubungi Budy Sukmadianto di nomor ponsel 085263877113, BBM PIN 5760FDC3 for more info.


               


Selasa, 05 Januari 2016

Tertibkan Orgen Tunggal, Selamatkan Moral Kemenakan!




Sebuah Surat Terbuka Untuk Walikota Pariaman

            Aku hanya seorang gadis kecil yang coba menulis sesuatu padamu yang pantasnya ku panggil Mamak, bukan, Pak. Surat ini bukan suatu bentuk pembangkangan, kagadang-gadangan atau sok mengajari pandeka basilek. Sepuluh jari kemenakan susun beserta kepala, memohon maaf apabila ada kata-kata kemanakan yang patut dibimbing ini yang tidak enak Mamak baca.
            Mamak, disini aku ingin berbicara tentang orgen tunggal di Pariaman. Kemenakan kecilmu ini kini telah beranjak dewasa, hingga ketika aku menyaksikan orgen tunggal yang menampilkan biduannya berpakaian minim, seolah-olah aku yang sedang ditelanjangi, ditonton dan dijadikan objek tertawa licik para lelaki yang puas menatapnya. Aku malu!
            Hingga sebelum acara itu usai aku sudah lebih dulu pergi karena terbayang apa yang akan aku saksikan selanjutnya. Ya, seperti yang sudah-sudah, seperti yang sama-sama diketahui, seperti yang sudah mulai dimaklumi, para biduan wanita itu akan melecuti beberapa bagian pakaiannya lebih minim lagi, lebih terbuka lagi, lebih memancing hawa nafsu lagi, lalu mereka bersama pemuda-pemuda bahkan mamak-mamak yang tengah mabuk akan berpesta pora. Bergoyang seolah lupa siapa mereka. Apa kedudukan mereka. Seorang mamak akan lupa memberi contoh yang baik pada kemenakannya. Pemuda yang masih sekolah lupa akan apa tanggungjawabnya esok pagi. Dan itu berlangsung hingga pukul empat pagi. Hampir mendekati subuh. Dan hal tersebut digelar diruang terbuka.
            Maka akan sangat miris lagi ketika pagi-pagi beberapa bocah usia sekolah dasar menceritakan perihal apa yang dilihatnya dari gelaran orgen tunggal semalam yang ditontonnya itu pada teman sebayanya. Menceritakan bagaimana terbukanya pakaian biduan-biduan wanitanya. Menyebutkan nama-nama orang kampungnya yang mabuk berat malam itu, dan menceritakan siapa-siapa saja yang memeluk biduan wanita seraya memberi beberapa lembar uang saweran. Miris! Bocah sekecil itu menurutku hanya boleh bercerita tentang bagaimana ia menyelesaikan PR Matematikanya semalam. Bukan bercerita tentang tontonan tak pantas yang disuguhkan kakaknya, ayahnya, mamak-mamaknya dan tetangga-tetangganya.
            Lebih miris lagi ku saksikan di kota ini, nasionalisme pemudanya hanya sebatas gelaran orgen tunggal. Mereka menanti datangnya hari peringatan kemerdekaan demi berpesta dengan orgen tunggal  dengan goyangan eotis lengkap dengan minuman keras, lalu acara itu dikemas dengan tajuk ALEK PEMUDA. Apa dengan  begitu mereka akan tahu bagaimana perjuangan para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan mungkin lagu wajib Indonesia raya saja mereka tak tahu. Mereka lebih hafal judul lagu dangdut koplo yang membuat goyangan mereka semakin asyik dan malam mereka semakin panas. Toh kemerdekaan bagi mereka adalah sebatas bebas bermabuk-mabukan dan bebas menikmati aurat yang dipertontonkan.
            Aku bukan ahli agama, Mamak. Tapi yang aku tahu mengumbar aurat itu berdosa. Meliuk-liukan badan dengan pakaian super pendek itu berdosa. Melelang harga diri dengan beberapa lembar rupiah yang diserukan dengan pengeras suara itu amat berdosa. Minuman keras itu berdosa. Bukankah oranng Minang terkenal dengan adat istiadat dan agamanya? Lalu kenapa Pariaman kini seolah menjadi Pantura jilid dua?
            Aku teringat himbauan “Maghrib mengaji” yang Mamak serukan dulu. Lalu kenapa tak bisa mamak buat himbauan “Pariaman bebas orgen tunggal”? Jikapun rumah orang baralek dan alek pemuda harus dihibur orgen tunngal, kenapa tak tegas tegakkan aturan orgen tunggal hanya boleh hingga pukul dua belas malam saja dengan menjunjung tinggi adat kesopanan dan nilai agama?
            Aku yang bodoh ini menangkap adanya pergeseran nilai di ranah yang begitu ku sanjung ini, Mamak. Jika dulu kemenakan segan bertemu mamak di lapau, kini kemanakan dan mamak duduk bersama bermain domino. Bahkan menonton orgen dilokasi yang sama dengan kelakuan yang sama. Begitu sedih aku mendapati hal tersebut. Seolah-olah Minang kabau kini tak lagi bisa dijadikan panutan. Seolah-olah nilai-nilai kesopanan dipertaruhkan demi tameng “hiburan”.
            Lakukanlah sesuatu, Mamak! Anggaplah biduan wanita itu, pemuda-pemuda itu dan anak-anak kecil yang gemar menonton orgen tunggal itu adalah kemenakan-kemanakanmu juga yang pantas Mamak ajari hal-hal baik dan Mamak lindungi dari segala yang tercela. Tak ku minta biduan-biduan seksi itu lantas berbaju kurung, Mamak, setidaknya buat mereka lebih menghargai badan mereka sendiri. Jjika tidak bisa mamak buat pemuda-pemuda itu kembali ke Surau, setidaknya buat mereka kembali ke rumah orang tuanya lebih awal. Aku menulis surat terbuka ini bukan berangkat dari resahku sendiri. Namun dari resahnya Bundo Kanduang oleh dunia yang tak lagi “talok diaja”. Aku sadar benar, Mamak bukanlah orang yang patut dipersalahkan. Ada orang tua, niniak mamak, dan urang tuo di kampung-kampung yang harusnya lebih paham menjaga anak kemenakannya. Tapi bolehkah aku memohon, Mamak? Datanglah ke lapau-lapau tiap kampung itu, temuai tiap niniak mamaknya, beritahu mereka apa yang seharusnya mereka lakukan. Ingatkan mereka jikalau lupa. Berbincang-bincanglah di lapau dengan mereka, sebagaimana biasa Mamak lakukan di masa-masa kampanye dulu. 
            Aku mohon diri mengakhiri surat ini, Mamak. Aku masih harus memeriksa hasil ulangan anak didikku yang mengerjakan ulangan dengan mata terkantuk-kantuk ulah orgen tunggal ‘bahoyak’ dikampung mereka semalam….
                                                                                                            Netri Olala…