Hilangnya Mak Mun
Oleh Netri Olala
Namanya
Maimunah. Orang-orang kampung memanggilnya Mak Mun. Wanita paruh baya itu bertubuh
gemuk dan pendek dengan pinggul yang besar. Sehingga ketika ia berjalan akan
kelihatan seperti itik dari kejauhan. Jika akan ke luar rumah menuju lapau, ia tak lupa mengenakan tudung dari
anyaman bambu persis seperti yang dipakai petani di sawah untuk melindungi
kepalanya dari terik matahari. Tak lupa sandal yang terbuat dari kayu atau yang
disebut orang Minang tangkelek, ia pakai
untuk mengalas kakinya. Dengan cara berjalan yang khas, maka tangkelek Mak Mun
akan menghasilkan suara yang khas pula. Suara itu sudah dihafal orang kampung.
Mereka akan tahu, Mak Munl sedang lewat di depan rumah mereka hanya dari
suara tangkeleknya. Tak ayal, induak-induak yang tengah bergunjing di lapau,
kontan menutup rapat mulutnya, jika sudah terdengar sayup suara tangkelek Mak Mun dari kejauhan.
Bungkamnya
induak-induak yang tadinya menggebu-gebu bercerita tentang keburukan si ini dan si
itu di lapau bukan tanpa sebab. Mak Mun adalah orang yang amat sinikel dan omongannya menukik tajam di hati
orang yang terkena sindirannya. Jika mendapati induak-induak tengah bergunjing di lapau, Mak Mun akan memberi
wejangan dengan ceramah-ceramah agamanya. Pada saat itu ia akan melantunkan
beberapa potongan ayat suci Al Quran lengkap dengan terjemahannya. Seketika, lapau akan berubah fungsi dan suasananya
mirip seperti di Surau.
Mak
Mun bahkan pernah menceramahi Anduang Mala yang usianya terpaut jauh darinya dengan
dalih tak pernah melihat Anduang Mala sembahyang ke Surau. Perdebatan sengit
pun terjadi kala itu.
“Sholat
itu urusan aku dengan Tuhan, tak mesti di Surau, di rumah pun bisa. Bercerminlah
kau dahulu sebelum mengajariku. Kita urus saja urusan kita masing-masing”.
Anduang Mala membela diri. Namun bukan Mak Mun namanya jika kalah. Ia terus
berargumen, tanpa peduli wajah Anduang Mala telah merah karna malu diceramahi
di depan banyak orang. Waktu itu kejadiannya di sebuah pondok milik Amak Mana.
Tak hanya itu, Mak Mun bahkan pernah membuat
ricuh orang di dapur ketika memasak di rumah orang baralek.
“
Beras yang kau bawa hanya secanting, sedangkan nasi orang yang kau makan
bersama anak-anakmu lebih dari apa yang kau bawa,” Mak Mun menyindir tajam salah
seorang dari mereka yang tengah makan bersama dua orang anaknya yang masih
kecil seusai menolong pekerjaan di rumah baralek. Kemudian ia
mengkait-kaitkan hal tersebut dengan agama. Ia mengkaji semua dengan ayat-ayat al
quran yang entah kebenarannya. Pada kondisi ini tidak akan sanggup satu orang
pun bersuara meski hati mereka murka. Puas berceramah, Mak Mun lalu pulang
meninggalkan orang-orang di rumah baralek itu yang sebentar lagi akan
menggunjingkannya. Maka, secepat kilat berita Mak Mun mericuh di rumah orang
baralek pun segera menjadi buah bibir di seantero kampung.
****
Entah
apa yang terjadi pada diri Mak Mun. Kali ini kampung kami dihebohkan lagi
dengan berita Mak Mun bertengkar dengan jamaah pria di Surau.
“
Dia menuduh Pak Jamal tidak khusyuk dalam sembahyang. Bahkan, Mak Mun bersumpah
bahwa ketika sholat Maghrib tadi, ia melihat Pak Jamal menoleh ke kanan dan ke
kiri. Parahnya, ia menegur Pak Jamal di depan orang banyak, betapa malunya Pak
Jamal” cerita Elok Siti pada orang-orang kampung yang tengah sarapan lontong di
lapau Mak Ipah.
“ Mak Mun itu keterlaluan! Anduang
Rama saja sampai sekarang enggan ke Surau setelah dia bilang mukena yang
dipakai Anduang Rama berbau karena tidak pernah dicuci. Ia bilang begitu,
ketika Anduang Rama shalat disebelahnya”, timpal Ayang Pia.
“Semakin hari dia semakin
menjadi-jadi. Ia berbicara tanpa menenggang perasaan orang. Apa yang membuat
dia seberani itu? Lupakah dia bahwa dia itu orang Minang, sama seperti kita.
Banyak hal yang harus diperhatikan ketika berbicara dan bertindak. Apa dia
membanggakan hidupnya yang kini sudah kaya? Memang sekarang anak-anaknyanya sudah kaya raya di rantau orang, tapi di atas langit masih ada langit. Walaupun orang
kampung disini hanya orang biasa yang cuma petani dan nelayan, pantaslah
rasanya ia hargai. Toh untuk makan kita tidak meminta darinya”, Elok Siti
berbicara lebih berani lagi.
“Kalian hidup bukan di jaman kami
dulu. Jadi untuk apa kalian menebak-nebak apa yang terjadi pada dia sekarang
hingga begini. Asal kalian tahu saja, si Mun itu dulu adalah orang yang amat
miskin di kampung ini. Untuk makan saja dia begitu susah. Dulu, tak sedikit
hutangnya di lapauku, tapi karena iba pada anak-anaknya aku pun terus memberi
dia hutang. Suaminya tidak bekerja karena sakit-sakitan. Tapi, yang membuat aku
kecewa padanya adalah, ketidakjujurannya. Ketika aku lengah, dia menyelipkan
beberapa dagangan ku seperti sabun, gula, dan roti di balik kain yang ia pakai.
Sekali dua kali memang aku tidak mengetahui. Tapi ketika itu, entah apa yang
membuat dia jatuh tersungkur sepulang dari lapauuku, maka berhamburan keluarlah
segala apa yang tersembunyi dibalik kainnya. Aku benar-benar malu melihat
kecurangannya. Semenjak peristiwa itu hingga sekarang, ia tak berani lagi
kesini. Jika hendak membeli apa-apa ia akan pergi ke lapauu Uni Sima. Ketika berjumpa denganku di jalan
atau di Surau, dia akan memalingkan wajahnya. Kini hidupnya sudah berubah. Dia
sudah berkecukupan. Aku tak berharap ia membayar semua hutangnya dulu juga mengganti daganganku yang ia curi, yang
aku mau hanya dia meminta maaf padaku.”
“ Benar terjadi itu, Mak?” tanya Uni
Mar tak percaya.
“ Apa untungnya aku berdusta”. Mak
Ipah meyakinkan. Semua orang yang berada di lapau Mak Ipah itu menggeleng tak
percaya.
***
Hari ini kampungku heboh lagi. Masih
berita tentang Mak Mun. Kata orang-orang kampung, sudah lebih dari satu bulan
Mak Mun tidak terlihat ke surau juga tidak nampak keluar rumah. Hal itu terjadi
setelah Elok Siti bertengkar hebat dengan Mak Mun sehabis sholat Subuh waktu
itu.
“ Apa yang kau pertengkarkan
dengannya, Siti?” tanya Mak Ipah ketika elok Siti belanja ke lapaunya.
“Dia berani berkata bahwa anak ku
bukan anak manusia karena anakku menangis di surau waktu itu. Dia mencaci maki
anakku dan berkata bahwa anakku telah mengganggu kekhusyukan shalatnya. Anak ku
yang masih lima tahun itu tahu apa memangnya. Dia belum berakal. Tak sepatutnya
ia berkata seperti itu.”
“Lalu apa yang kau katakana
padanya?”
“ Aku hanya menyuruhnya berkaca. Tak
sepatutnya ia berbicara seperti alim ulama semantara akhlaknya tidak beres. Aku
bilang bahwa ia juga tak pernah khusyuk ketika shalat. Kalau memang dia khusyuk
ketika shalat, tak mungkin ia bisa bersumpah melihat pak Jamal menoleh ke kiri
dan ke kanan ketika shalat. Kalau dia khusyuk, tentu dia tidak akan melihat
itu”.
“ Lalu apa katanya?”
“Dia hanya membisu. Aku juga sampaikan
padanya bahwa Anduang Rama tak sekotor yang ia bayangkan. Anduang Rama sering
mencuci mukenanya dengan sabun yang ia beli di lapau, bukan yang ia curi.
Karena Anduang Rama bukan seorang pencuri seperti dia”.
“ Astaghfirulah, Siti! Kau bicara
seperti itu?”, Mak Ipah sangat terkejut.
“ Iya, Mak. Aku sangat emosi ketika
itu. Aku tidak suka diceramahi oleh orang yang tidak benar”.
“ Lalu dia tak membalas kata-katamu
sama sekali?”
“ Dia tidak bicara apa-apa. Ia hanya
diam dan berlari menuju rumahnya. Dan hingga kini ia tidak berani keluar!”
“Sadarkah kau ucapanmu itu telah
membuat luka hatinya? Apakah pertengkaran kalian itu disaksikan orang banyak?”
“Luka hatinya tak sebanding dengan
luka hatiku, luka hati orang-orang yang dibelinya dengan kata-kata kasarnya dan
luka Mak Ipah juga. Semua jamaah surau menyaksikan pertengkaran kami dan mereka
terkejut seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan”, jelas Siti
berapi-api.
“Aku telah memaafkannya. Sungguh,
aku telah memaafkannya. Aku sudah tidak menghitung-hitung lagi berapa banyak
daganganku yang ia curi dulu. Aku ikhlas. Tapi ia tak lagi menegurku, itu yang
ku sesalkan. Nanti, selepas shalat maghrib aku akan datang ke rumahnya”.
“Untuk apa?”
“Untuk memohonkan maaf atas
ucapanmu”.
Siti terkejut..
“Untuk
apa, Mak. Bukankah dia yang salah. Dia yang bermulut kasar. Sering menceramahi
orang dan dia suka mencuri dagangan Mak Ipah..
“Itu
dulu!” jawab Mak Ipah tegas, memotong pembicaraan Siti. Wajah Mak Ipah mulai
menunjukan ketidaksenangan. Diraut wajah tuanya, tergurat penyesalan teramat
dalam karna telah menceritakan keburukan Mak Mun dimasa lampau, beberapa waktu lalu
pada Siti dan beberapa orang kampung lainnya. Mak Ipah tidak menyangka bahwa
cerita itu akan sampai ke telinga Mak Mun dan membuat ia tak lagi mau keluar rumah, pergi ke rumah
orang barelek bahkan untuk shalat ke
surau sekali pun.
Mak
Mun kini terus menutup diri. Tak seorang pun boleh menemuinya. Mulutnya
terkunci oleh ceramah-ceramah agama yang ia sering sampaikan sendiri.
Sindiran-sindiran yang ia lontarkan dengan begitu tajam selama ini kini balik
menyerang. Sebuah goresan hitam Mak Mun di masa lalu mampu menenggelamkan
pernyataan-pernyataan maha angkuhnya. Kini, Mak Mun telah hilang. Hilang
tertimbun dalam rumah mewah oleh harta benda yang anak-anaknya carikan di
rantau orang.
##