Selasa, 23 Juni 2015

Sebuah Cerpen


Hilangnya Mak Mun
Oleh Netri Olala


Namanya Maimunah. Orang-orang kampung memanggilnya Mak Mun. Wanita paruh baya itu bertubuh gemuk dan pendek dengan pinggul yang besar. Sehingga ketika ia berjalan akan kelihatan seperti itik dari kejauhan. Jika akan ke luar rumah menuju lapau, ia tak lupa mengenakan tudung dari anyaman bambu persis seperti yang dipakai petani di sawah untuk melindungi kepalanya dari terik matahari. Tak lupa sandal yang terbuat dari kayu atau yang disebut orang Minang tangkelek, ia pakai untuk mengalas kakinya. Dengan cara berjalan yang khas, maka tangkelek Mak Mun akan menghasilkan suara yang khas pula. Suara itu sudah dihafal orang kampung. Mereka akan tahu, Mak Munl sedang lewat di depan rumah mereka hanya dari suara tangkeleknya. Tak ayal, induak-induak yang tengah bergunjing di lapau, kontan  menutup rapat mulutnya, jika sudah terdengar sayup suara tangkelek Mak Mun dari kejauhan.
Bungkamnya induak-induak yang tadinya menggebu-gebu bercerita tentang keburukan si ini dan si itu di lapau bukan tanpa sebab. Mak Mun adalah orang yang amat sinikel dan omongannya menukik tajam di hati orang yang terkena sindirannya. Jika mendapati induak-induak  tengah bergunjing di lapau, Mak Mun akan memberi wejangan dengan ceramah-ceramah agamanya. Pada saat itu ia akan melantunkan beberapa potongan ayat suci Al Quran lengkap dengan terjemahannya. Seketika, lapau akan berubah fungsi dan suasananya mirip seperti di Surau.
Mak Mun bahkan pernah menceramahi Anduang Mala yang usianya terpaut jauh darinya dengan dalih tak pernah melihat Anduang Mala sembahyang ke Surau. Perdebatan sengit pun terjadi kala itu.
“Sholat itu urusan aku dengan Tuhan, tak mesti di Surau, di rumah pun bisa. Bercerminlah kau dahulu sebelum mengajariku. Kita urus saja urusan kita masing-masing”. Anduang Mala membela diri. Namun bukan Mak Mun namanya jika kalah. Ia terus berargumen, tanpa peduli wajah Anduang Mala telah merah karna malu diceramahi di depan banyak orang. Waktu itu kejadiannya di sebuah pondok milik Amak Mana.
 Tak hanya itu, Mak Mun bahkan pernah membuat ricuh orang di dapur ketika memasak di rumah orang baralek.
“ Beras yang kau bawa hanya secanting, sedangkan nasi orang yang kau makan bersama anak-anakmu lebih dari apa yang kau bawa,” Mak Mun menyindir tajam salah seorang dari mereka yang tengah makan bersama dua orang anaknya yang masih kecil seusai menolong pekerjaan di rumah baralek. Kemudian ia mengkait-kaitkan hal tersebut dengan  agama. Ia mengkaji semua dengan ayat-ayat al quran yang entah kebenarannya. Pada kondisi ini tidak akan sanggup satu orang pun bersuara meski hati mereka murka. Puas berceramah, Mak Mun lalu pulang meninggalkan orang-orang di rumah baralek itu yang sebentar lagi akan menggunjingkannya. Maka, secepat kilat berita Mak Mun mericuh di rumah orang baralek pun segera menjadi buah bibir di seantero kampung.
****
Entah apa yang terjadi pada diri Mak Mun. Kali ini kampung kami dihebohkan lagi dengan berita Mak Mun bertengkar dengan jamaah pria di Surau.
“ Dia menuduh Pak Jamal tidak khusyuk dalam sembahyang. Bahkan, Mak Mun bersumpah bahwa ketika sholat Maghrib tadi, ia melihat Pak Jamal menoleh ke kanan dan ke kiri. Parahnya, ia menegur Pak Jamal di depan orang banyak, betapa malunya Pak Jamal” cerita Elok Siti pada orang-orang kampung yang tengah sarapan lontong di lapau Mak Ipah.
            “ Mak Mun itu keterlaluan! Anduang Rama saja sampai sekarang enggan ke Surau setelah dia bilang mukena yang dipakai Anduang Rama berbau karena tidak pernah dicuci. Ia bilang begitu, ketika Anduang Rama shalat disebelahnya”, timpal Ayang Pia.
            “Semakin hari dia semakin menjadi-jadi. Ia berbicara tanpa menenggang perasaan orang. Apa yang membuat dia seberani itu?  Lupakah dia bahwa dia itu orang Minang, sama seperti kita. Banyak hal yang harus diperhatikan ketika berbicara dan bertindak. Apa dia membanggakan hidupnya yang kini sudah kaya? Memang sekarang anak-anaknyanya sudah kaya raya di rantau orang, tapi di atas langit masih ada langit. Walaupun orang kampung disini hanya orang biasa yang cuma petani dan nelayan, pantaslah rasanya ia hargai. Toh untuk makan kita tidak meminta darinya”, Elok Siti berbicara lebih berani lagi.
            “Kalian hidup bukan di jaman kami dulu. Jadi untuk apa kalian menebak-nebak apa yang terjadi pada dia sekarang hingga begini. Asal kalian tahu saja, si Mun itu dulu adalah orang yang amat miskin di kampung ini. Untuk makan saja dia begitu susah. Dulu, tak sedikit hutangnya di lapauku, tapi karena iba pada anak-anaknya aku pun terus memberi dia hutang. Suaminya tidak bekerja karena sakit-sakitan. Tapi, yang membuat aku kecewa padanya adalah, ketidakjujurannya. Ketika aku lengah, dia menyelipkan beberapa dagangan ku seperti sabun, gula, dan roti di balik kain yang ia pakai. Sekali dua kali memang aku tidak mengetahui. Tapi ketika itu, entah apa yang membuat dia jatuh tersungkur sepulang dari lapauuku, maka berhamburan keluarlah segala apa yang tersembunyi dibalik kainnya. Aku benar-benar malu melihat kecurangannya. Semenjak peristiwa itu hingga sekarang, ia tak berani lagi kesini. Jika hendak membeli apa-apa ia akan pergi ke lapauu  Uni Sima. Ketika berjumpa denganku di jalan atau di Surau, dia akan memalingkan wajahnya. Kini hidupnya sudah berubah. Dia sudah berkecukupan. Aku tak berharap ia membayar semua hutangnya dulu  juga mengganti daganganku yang ia curi, yang aku mau hanya dia meminta maaf padaku.”
            “ Benar terjadi itu, Mak?” tanya Uni Mar tak percaya.
            “ Apa untungnya aku berdusta”. Mak Ipah meyakinkan. Semua orang yang berada di lapau Mak Ipah itu menggeleng tak percaya.
                                                ***
            Hari ini kampungku heboh lagi. Masih berita tentang Mak Mun. Kata orang-orang kampung, sudah lebih dari satu bulan Mak Mun tidak terlihat ke surau juga tidak nampak keluar rumah. Hal itu terjadi setelah Elok Siti bertengkar hebat dengan Mak Mun sehabis sholat Subuh waktu itu.
            “ Apa yang kau pertengkarkan dengannya, Siti?” tanya Mak Ipah ketika elok Siti belanja ke lapaunya.
            “Dia berani berkata bahwa anak ku bukan anak manusia karena anakku menangis di surau waktu itu. Dia mencaci maki anakku dan berkata bahwa anakku telah mengganggu kekhusyukan shalatnya. Anak ku yang masih lima tahun itu tahu apa memangnya. Dia belum berakal. Tak sepatutnya ia berkata seperti itu.”
            “Lalu apa yang kau katakana padanya?”
            “ Aku hanya menyuruhnya berkaca. Tak sepatutnya ia berbicara seperti alim ulama semantara akhlaknya tidak beres. Aku bilang bahwa ia juga tak pernah khusyuk ketika shalat. Kalau memang dia khusyuk ketika shalat, tak mungkin ia bisa bersumpah melihat pak Jamal menoleh ke kiri dan ke kanan ketika shalat. Kalau dia khusyuk, tentu dia tidak akan melihat itu”.
            “ Lalu apa katanya?”
            “Dia hanya membisu. Aku juga sampaikan padanya bahwa Anduang Rama tak sekotor yang ia bayangkan. Anduang Rama sering mencuci mukenanya dengan sabun yang ia beli di lapau, bukan yang ia curi. Karena Anduang Rama bukan seorang pencuri seperti dia”.
            “ Astaghfirulah, Siti! Kau bicara seperti itu?”, Mak Ipah sangat terkejut.
            “ Iya, Mak. Aku sangat emosi ketika itu. Aku tidak suka diceramahi oleh orang yang tidak benar”.
            “ Lalu dia tak membalas kata-katamu sama sekali?”
            “ Dia tidak bicara apa-apa. Ia hanya diam dan berlari menuju rumahnya. Dan hingga kini ia tidak berani keluar!”
            “Sadarkah kau ucapanmu itu telah membuat luka hatinya? Apakah pertengkaran kalian itu disaksikan orang banyak?”
            “Luka hatinya tak sebanding dengan luka hatiku, luka hati orang-orang yang dibelinya dengan kata-kata kasarnya dan luka Mak Ipah juga. Semua jamaah surau menyaksikan pertengkaran kami dan mereka terkejut seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan”, jelas Siti berapi-api.
            “Aku telah memaafkannya. Sungguh, aku telah memaafkannya. Aku sudah tidak menghitung-hitung lagi berapa banyak daganganku yang ia curi dulu. Aku ikhlas. Tapi ia tak lagi menegurku, itu yang ku sesalkan. Nanti, selepas shalat maghrib aku akan datang ke rumahnya”.
            “Untuk apa?”
            “Untuk memohonkan maaf atas ucapanmu”.
            Siti terkejut..
“Untuk apa, Mak. Bukankah dia yang salah. Dia yang bermulut kasar. Sering menceramahi orang dan dia suka mencuri dagangan Mak Ipah..
“Itu dulu!” jawab Mak Ipah tegas, memotong pembicaraan Siti. Wajah Mak Ipah mulai menunjukan ketidaksenangan. Diraut wajah tuanya, tergurat penyesalan teramat dalam karna telah menceritakan keburukan Mak Mun dimasa lampau, beberapa waktu lalu pada Siti dan beberapa orang kampung lainnya. Mak Ipah tidak menyangka bahwa cerita itu akan sampai ke telinga Mak Mun dan membuat ia  tak lagi mau keluar rumah, pergi ke rumah orang barelek bahkan untuk shalat ke surau sekali pun.
Mak Mun kini terus menutup diri. Tak seorang pun boleh menemuinya. Mulutnya terkunci oleh ceramah-ceramah agama yang ia sering sampaikan sendiri. Sindiran-sindiran yang ia lontarkan dengan begitu tajam selama ini kini balik menyerang. Sebuah goresan hitam Mak Mun di masa lalu mampu menenggelamkan pernyataan-pernyataan maha angkuhnya. Kini, Mak Mun telah hilang. Hilang tertimbun dalam rumah mewah oleh harta benda yang anak-anaknya carikan di rantau orang.
##