Selasa, 06 Desember 2016

Selamatkan Anak Didik Kita dari Virus Anya Geraldine dan Awkarin!


            Awalnya saya membaca sebuah berita mengenai pelaporan dua selebgram remaja ke KPAI beberapa waktu lalu bernama Anya Geraldine dan Awkarin. Ketika saya membaca berita tersebut, saya disuguhkan informasi mengenai dua remaja ini yang tindak-tanduknya di sosial media begitu mengkhawatirkan. Beberapa diantaranya seperti memamerkan gaya hidup yang bebas tidak berbatas. Contohnya, merokok, clubbing, mabuk-mabukan, berkata-kata kotor, pacaran ala barat, berpakaian tidak pantas, lengkap dengan gaya hidup hedon.
            Penasaran, saya pun menelusuri akun instagram dan youtube keduanya. Karena memang keduanya merupakan selebgram di instagram dan vlogger yang rajin update video di youtube. Dan alangkah terkejutnya saya mendapati kenyataan yang lebih detail dibanding fakta yang berusaha dipaparkan jurnalis pada artikel yang saya baca sebelumnnya. Disana saya melihat adegan-adegan yang tidak pantas dilakukan remaja belasan tahun tersebut.
            Anya Geraldine misalnya. Dalam video-video yang di upload remaja 18 tahun tersebut ke chanel youtubenya, selalu memamerkan gaya pacaran ala barat. Ia tak sungkan berciuman, berpelukan dan terang-terangan menunjukan bahwa ia bersama pacarnya menginap dalam satu kamar. Ketika melihat suguhan menggelikan itu, satu pertanyaan menggerayangi pikiran saya “Dimana orang tuanya? Bagaimana jika orang tuanya melihat video ini? Tidakkah remaja ini malu pada tetangga-tetangganya, teman-temannya, juga lingkungan sosial lainnya?”
            Beda Anya Geraldine, beda Awkarin. Konon, remaja ini adalah peraih nilai UN tertinggi di provinsinya, Batam, ketika SMP. Berprestasi, pemilik nama lengkap Karin Novilda ini diijinkan melanjutkan sekolah ke salah satu sekolah menangah atas favorit di Jakarta. Petaka dimulai dari sini. Ia yang semula manis dengan balutan hijab kini tidak risih berpakaian minim, tubuh dirajah tato, serta rambut dicat pirang.
            Di setiap postingannya di instagram dan youtube, Awkarin tidak sungkan melempar jokes dengan kata-kata kotor berbau seks. Ditambah gaya hidup tidak sehat yang ia tunjukkan seperti merokok dan mabuk-mabukan. 
Lebih memilukan, keduanya memiliki penggemar fanatik yang usianya lebih belia dibanding mereka. Bocah-bocah SD, SMP hingga remaja SMA. Gaya pacaran, berpakaian, dan bicara mereka dijadikan panutan oleh fans labil yang siap pasang badan jika idolanya tersebut dihitamkan.
            Sengaja atau tidak, keduanya telah menanamkan sikap pembangkang kepada remaja-remaja Indonesia lewat captions ditiap postingan mereka yang sering menyematkan kalimat semacam “Lebih baik hidup apa-adanya (nakal) tapi nggak munafik. Silahkan benci gue yang apa adanya dan cintai mereka yang berlagak baik di depan kamera!.” Percayalah, ketika kalimat provokatif ini digaungkan berkali-kali, tentu ini akan menjadi semacam sugesti.
Terbukti, kini semakin banyak saja postingan di youtube dan instagram yang mengikuti gaya mereka. Seperti mengenakan baju sebatas dada, juga  siswa perempuan merokok beramai-ramai dengan mengenakan seragam sekolah dengan bangganya. Silahkan cek youtube dan instagram jika tidak percaya.
Saya begitu takut akan perubahan persepsi remaja kini. Ketika mereka yang berperilaku bobrok dianggap jujur apa adanya, sementara mereka yang baik dianggap munafik dan pencitraan semata. Sungguh ini sebuah realita sosial yang memilukan. Dan saya, anda, kita, kemudian akan kesulitan mencari diksi untuk merepresantasikan sedih jika anak didik kita berperangai serupa itu.
Pegangi anak-anak kita. Pantau aktivitasnya di sosial media. Silahkan beri kebebasan namun berbatas. Silahkan beri fasilitas namun bermanfaat. Terlebih, beri mereka kasih sayang penuh hingga tidak perlu mereka cari keluar. Beri mereka perhatian hingga tidak sampai mengemis perhatian di sosial media. Apresiasi karya mereka, agar tidak sampai mencari sensasi di dunia maya.  Lindungi anak kita dari virus Anya Geraldine dan Awkarin. Sungguh, ini adalah virus paling mematikan moral anak didik kita!

*Artikel saya ini dimuat oleh surat kabar HALUAN edisi Kamis, 01 Desember 2016*


Senin, 10 Oktober 2016

Ternyata Cinta Tidak Selucu Itu!


Image By Google


Aku mencintai jiwa, bukan rupa. Maka ketika cinta itu patah akan sulit bagiku kembali mencintai. Kenapa? Karena akan ada wajah yang tidak akan kalah rupa, namun tidak dengan jiwa.
Dan, malam ini aku mengaku salah dan kalah. Aku mencintai, namun angkuh mengakui. Hingga ketika dia pergi ada luka yang tidak pantas ku tangisi.

Ketika bersamanya, ada tawa renyah yang tak bisa ku cegah. Ada kenyamanan yang tidak terkatakan. Hinga ketika semua rasa itu sudah bisa disebut cinta, aku malah tidak sadar sudah merasakannya.

Sebentar lagi, dia akan bersatu dengan tulang rusuknya. Dan jelas, wanita itu bukan aku. Namun malam ini dengan bodohnya aku memohon pada Tuhan agar diberi kemampuan memutar waktu. Ya, waktu yang telah ku sia-siakan dengan serampangan. Waktu bersamanya yang ku beri label “PERTEMANAN!” Waktu yang harusnya ku sadari bahwa aku telah jatuh hati di tiap detik detaknya.

Oh hati, redamlah dalam-dalam sesal ini! Meski tak lagi mungkin menemui manusia dengan jiwa seperti milikinya, namun akan terlihat lucu jika terus menangisi dia yang selama ini lebih sering ku becandai.

Dan, ternyata cinta tidak selucu itu!

Netri Olala, 9/10/16
Pada Minggu Malam Kelabu



Selasa, 26 Juli 2016

Jadilah Pejuang Antikorupsi Bersama Madrasah Anti Korupsi Kota Pariaman Angkatan Kedua!



Apa Itu Madrasah Antikorupsi
Madrasah Antikorupsi adalah produk dari gerakan BERJAMAAH LAWAN KORUPSI kerjasama antara Pemuda Muhammadiyah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Indonesian Corruption Watch. Madrasah Antikorupsi pertamakali lahir di Jakarta pada tanggal 8 Februari 2015.

Bagaimana dengan Madrasah Antikorupsi Kota Pariaman Angkatan Pertama?
Dihadiri oleh Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhamadiyah, Hijriyanto ,Deputi Data dan Informasi KPK, Nanang Farid Syam, dan Wakil Walikota Pariaman, Genius Umar, Madrasah Anti Korupsi Kota Pariaman resmi diluncurkan pada Jumat, 19 Februari 2016, bertempat  di Aula Balai Kota Pariaman. Pariaman adalah kota ke-14 di Indonesia yang meluncurkan Madrasah Antikorupsi.

Madrasah Anti Korupsi Kota Pariaman angkatan pertama telah  menggembleng dua puluh lima santri yang telah dibina menjadi pejuang anti korupsi di Kota Pariaman. Mereka telah mengikuti perkuliahan selama satu semester di gedung kampus STIT Syekh Burhanudin. Menariknya, tidak hanya kuliah dengan metode konvensional, para santri juga belajar bagaimana mengkampanyekan sikap anti korupsi kepada masayarakat kota Pariaman, melalui acara-acara menarik dan edukatif.

Abrar Aziz, ketua Madrasah Anti Korupsi Kota Pariaman yang juga ketua Pemuda Muhamadiyah Pariaman mengatakan, santri-santri madrasah anti korupsi ini telah memberikan pemahaman mengenai undang-undang Anti Korupsi, dan pengetahuan terhadap sikap anti korupsi kepada mayarakat.
           
Mengapa Saya Harus Bergabung dengan Madrasah Antikorupsi?
Korupsi telah merusak seluruh sendi kehidupan berbangsa, mulai dari ekonomi, politik hingga sosial budaya. Madrasah Anti Korupsi diharapkan bisa menjadi bagian dari upaya membangun budaya anti korupsi masyarakat. Maka dari itu Madrasah Anti Korupsi membutuhkan pemuda yang mempunyai sikap anti korupsi, cerdas, kritis, kreatif dan konsekuen.

Jika Saya Bergabung dengan Madrasah Antikorupsi Kota Pariaman, Apa yang Akan Saya Dapatkan?
Sebagai calon pelopor gerakan antikorupsi Anda akan mendapatkan pelajaran tentang antikorupsi yang lebih konprehnsif dan sistematis. Tidak hanya materi, aksi nyata antikorupsi juga akan diagendakan.

Apakah Saya Harus Berasal dari Organisasi Tertentu?
Tidak! Kami welcome dengan siapa saja anak muda kota Pariaman yang kritis, aktif, dan ingin berkontribusi dalam gerakan berjamaah lawan korupsi.

Apakah dengan Mengikuti Madrasah Antikorupsi Saya Akan Terikat Dengan Organisasi Muhammadiyah?
Tidak! Tergabung dalam organisasi adalah hak mutlak masing-masing individu, tidak ada keterikatan disini.

Apa Syarat Mutlak Menjadi Santri Madrasah Antikorupsi Kota Pariaman?
Calon santri madrasah Antikorupsi harus lulusan S1 atau mahasiswa semester akhir.

Bagaimana Teknis Perkuliahan Madrasah Antikorupsi Tersebut?
Selama satu semester santri Madrasah akan mengikuti perkuliahan antikorupsi di gedung Aisyiyah, Guguak, Pariaman dengan pemateri yang berkompeten dibidangnya. Tidak hanya kuliah konvensional dengan ceramah dan diskusi, nantinya santri Madrasah antikorupsi juga akan mengkampanyekan gerakan antikorupsi kepada masyarakat. Diakhir perkuliahan, santri Madrasah Antikorupsi diharuskan menulis karya tulis tentang gerakan antikorupsi sebagai syarat lulus menjadi santri madrasah antikorupsi dan mandapatkan sertifikat kelulusan.

Jika Saya Tertarik Untuk Berbagung, Saya Harus Daftar Kemana?
Silahkan hubungi contact person  kami di bawah ini:
Netri 082383278440
Hardianti Rusadi 0823 92650609
Rakhis Rizal 082284257061




Selasa, 28 Juni 2016

Pinangan dari Selatan; Sastra yang Dibungkus Politik dan Sejarah


Membaca novel Pinangan dari Selatan, berarti tak hanya sekedar membaca kisah tokoh-tokoh di dalamnya dengan rentetan-rentetan peristiwa yang dibungkus keindahan kata. Namun juga membaca buku sejarah dengan dialog-dialog ringan dan bahasa kekinian. Dan membaca buku politik dengan suguhan intrik-intrik yang menarik. Sastra, sejarah, dan politik. Ya, Indra Jaya Piliang ‘hidup’ di ketiga unsur tersebut.

Novel adalah catatan pengalaman-pengalaman batin penulisnya. Bertahun-tahun pengalaman batin itu dirasakan, disimpan, lalu dituliskan. Butuh waktu juga untuk menyelesaikan dan menerbitkan. Sedangkan pembaca, begitu egoisnya melahap pengalaman-pengalaman batin tersebut dengan bara api penasaran di matanya. Saya, termasuk pembaca yang egois tersebut, dua hari sejak novel pertama dari Indra Jaya Piliang itu memasuki “Goa” saya, novel itu selesai saya telanjangi isinya. 420 halaman yang berkesan. 420 halaman yang mendebarkan. Serasa Gadis-gadis Selatan ikut menghantar saya ke tiap-tiap bab-nya.

Berbeda dengan film, novel membebaskan pembaca menvisualisasikan sendiri cerita yang dibaca. Visualisasi tempat, adegan, tokoh-tokohnya bebas kita tentukan sendiri dengan sedikit bantuan deskripsi penulisnya. Dan, tokoh Tentra yang tervisualisasi di alam pikir saya adalah sosok penulisnya sendiri. Tentra anak Desa dari Pariaman. Ayahnya petani. Namun berhasil menembus Universitas terbaik di Ibu Kota. Ingatan saya diantar menuju buku “Mengalir Meniti Ombak” dari penulis yang sama. Ya, itu tadi, mungkin ini adalah sebilah pengalaman batin penulisnya yang dituang dalam diri tokoh ciptaannya dalam Novel ini.

Ketika menemukan sesuatu yang ‘liar’ dalam novel ini saya bertanya dalam hati berkali-kali “Benar ini novel yang nulis Indra Jaya Piliang?” Tapi bukankah tidak harus menjadi liar untuk menulis sesuatu yang liar? Penulis yang baik pantang memalsukan ide dan gagasan hanya karena takut dicap macam-macam. Indra Jaya Piliang sukses menegaskan hal itu. Gambaran dunia malam beliau sibak lengkap dengan ornamen-ornemennya. Kehidupan paling private tak terawas mata beliau kuliti dalam novel ini terang-terangan. “Beliau tahu dari mana? Batin saya. Oh lupa, beliau pengamat yang baik. Mungkin apa yang tertuang dalam novel ini juga sedikit menjadi kajiannya dulu. Hehe, mungkin lho, ini!

Pinangan dari Selatan adalah sebuah novel yang unik. Uniknya novel ini dapat dilihat pada nama-nama tokoh yang anti mainstream; Tentra, Umangi Siberuti, Cecilia Pacitani, Uleta, Rabita, Anonina, Anggreki Ciliwungi adalah beberapa diantaranya yang terdengar aneh namun punya filosofi sendiri-sendiri. Disamping konflik menggelitik yang penuh intrik tentunya. Bahkan begitu menggelitiknya konflik yang disajikan dalam novel ini, saya harus berulangkali kembali ke halaman sebelumnya untuk dapat memahami jalannya cerita dengan baik. Alur dalam novel ini merupakan alur campuran yang seperkiandetik-nya bisa membawa pembaca ke masa lalu, kemudian diantar lagi ke masa sekarang. Imajinasi saya  berkali-kali dihempas pada dunia zaman peradaban dengan tekhnologi dan sosial media sebagai ciri, kemudian dihempas lagi menuju dunia Mitologi. Novel ini menembus dua dunia yang bertentangan waktu dan pola pikir.

Ending novel ini tidak mudah ditebak seperti novel novel kebanyakan. Saya baru sadar bahwa cerita dalam novel ini adalah cerita Habil dan Qabil anak-anak Nabi Adam dalam versi manusia-manusia selatan rekaan Indra Jaya Piliang.

Sastra entah dalam apapun bentuknya, pasti memiliki pesan yang ingin di sampaikan. Tak terkecuali novel Pinangan dari Selatan ini. Pada tiap-tiap tokoh diselipkan pesan untuk pembaca. Saya tidak mau membahasnya terlalu dalam disini. Takut tulisan ini malah jadi seperti makalah analisis novel berhalaman-halaman. Hanya saja, dapat saya sampaikan bahwa, novel ini bertitip pesan pada pembaca bahwa dendam perempuan bisa menjadi semacam alaram dalam kehidupan. Kehidupan pada orang yang menyakiti. Atau pada yang belum dan berniat menyakiti. Alarm itu  menjadi pengingat bahwa lemahnya seorang perempuan menjadi titik balik kekuatannya yang tidak terkalahkan. Perempuan bersama tubuhnya mungkin bisa dibeli namun tidak dengan prinsipnya. Wanita-wanita selatan yang tengah menaruh dendam dihatinya, tubuhnya terlihat menawan, tercium harum semerbak, namun ketika dendam itu akan dikibaskan, menawan itu berubah menyeramkan, harum semerbak itu berbau bangkai bagi yang menjadi tawanan.

Uleta, bocah kecil yang hidup di tengah kemiskinan, kemudian tumbuh besar di tengah-tengah keluarga yang memberinya kasih sayang yang cukup, makan yang cukup, juga pendidikan. Ia terkesan pada kasih sayang seorang kakak angkat bernama Hendaru. Kasih sayang yang tulus. Cinta yang membuatnya terkesima. Namun beranjak dewasa, Uleta harus menerima kejadian pahit namun nyata. Hendaru meninggal dunia di tangan preman ketika beraksi menyerang diskotik Kurva yang di dalamnya perempuan seolah tak lagi berharga dan penuh dosa. Pilunya, peristiwa itu terjadi di malam ulang tahun Uleta. Malam dimana ia menanti kakak angkatnya datang membawa bunga sedap malam kesukaannya. Meranalah Uleta kehilangan kasih sayang yang entah kemana lagi ia cari dan dapatkan. Lalu menyalalah dendam. Kehilangan Hendaru menjadi alasan Uleta mencari pembunuhnya.

Uleta menginjakan kaki di dunia malam yang sebelumnya samasekali tidak pernah terbayangkan. Meski awalnya canggung, namun pencarian siapa pelaku pembunuh Hendaru menguatkannya. Ritmi, teman sekelas yang lebih dulu menjadi wanita malam di diskotik Kurva ikut meguatkan. Selain Mami Cecilia yang bertindak sebagai germo ikut membuat nyaman Uleta di dunia barunya. Siapa sangka, tak hanya Uleta yang akan membalaskan dendam, keturunan-keturunan gadis selatan lain juga hidup dengan memelihara dendam seperti Cecilia, Rabita, dan Anonina. Tokoh Tentra yang agamis dan puitis menjadi pemanis dendam gadis-gadis selatan. Tentra disukai Cecilia, Uleta dan Anonina. Namun Tentra harus jujur memiliki segenggam rindu setelah cukup lama Cecilia menghilang dari kehidupannya.

Lalu ending cerita seperti apa yang disugukan Indra Jaya Piliang dalam novel ini? Bagaimana dengan dendam para gadis selatan? Seperti yang saya katakan di awal. Sungguh tidak tertebak. Silahkan miliki dan baca novelnya, ya :D

Netri Olala


Jumat, 10 Juni 2016

AKU MENCINTAI DALAM SUNYI


Image By Google

Apa kabar?
Semoga harimu menyenangkan..
Perkenalkan, aku adalah mata yang selalu ingin memandangmu indahmu
Aku adakah telinga yang kerap mencuri-curi dengar suaramu
Aku adalah telapak tangan yang berkeringat hebat ketika berpapasan denganmu
Aku adalah jantung yang berdegup kencang ketika melihatmu dari kejauhan
Aku adalah kaki yang ingin melangkah masuk ke dalam hidupmu
Aku adalah lidah yang kelu ketika ingin menyebut namamu
Aku, adalah aku..
 Aku, Netri, kau samasekali tidak tahu namaku bukan?

Lalu bagaimana bisa aku jatuh hati padamu?
Silahkan tanya hatiku
Tapi sebentar, saat ini dia sedang jatuh di dalam sunyi
Sejenak, berilah ia kesempatan bercengkarama dengan sunyi itu, agar ketika pulang ia bisa menjawab pertanyaanmu

Mungkin, selamanya kamu hanya akan jadi rahasia
Rahasia bahwa aku begitu ingin shalatnya kau imami
Rahasia bahwa aku begitu ingin salahnya kau nasehati
Rahasia bahwa aku begitu ingin rapuhya kau lindungi
Dan rahasia itu akan kuceritakan pada fotomu bersama pasangan hidupmu, (mungkin) satu atau dua tahun lagi.

Kamu adalah apa yang kudoakan pada Tuhan agar tidak dijadikan harapan hampa menyakitkan
Kamu adalah kenyataan yang kucoba tepis berkali-kali bahwa benar aku  telah mencinta meski hanya dalam sunyi
tapi aku masih bisa berbincang dengan Ilahi perihal memantaskan diri.

Pariaman, 10 Juni 2016

Jumat, 18 Maret 2016

SEMOGA AKU TIDAK SEDANG JATUH CINTA



                                                                Image by google
 
Badan ini sudah sering merasai karena kasih tak sampai. Pahit, asam dan hambar dari segelas cinta yang manis diawalnya sudah beberapa kali ku rasa. Pernah ku mencinta dengan segenap rasa, namun seorang janda berhasil menggoda setia kekasihku untuk ditinggalkan saja diujung tanggal ulang tahunku. Kisahku berakhir. Dan aku berjuang untuk keluar dari jerat kesedihan dengan segenap upaya.

Pernahku mencinta dengan sangat. Namun cintaku ditolak adat. Karena Minangkabau tidak membenarkan pernikahan sesuku, impianku menjunjung sunting tahun lalu, harus tutup buku. Kami lalu memutuskan berteman. Namun kemudian kami menyerah karena sisa-sisa luka dari cinta yang binasa belum bisa berdamai dengan senyuman pertemanan.

Pernahku mencintai dengan tulus hingga akhirnnya kepergian tiba-tiba menghunus hati yang baru saja mekar setelah pupus. Aku ditinggalkan tanpa alasan. Air mata menjalar mencari jawaban yang benar. Namun dia tetap melangkah berlalu dengan mulut membisu. 

Kini seorang pria hadir entah dari sudut takdir yang mana. Apakah tertakdir untuk datang menambah catatan-catatan luka, atau tertakdir sebaliknya. Entahlah! yang jelas, darahku berdesir ketika sepasang bola matanya beradu dengan mataku. Aku tidak banyak tahu tentangnya. Dulu ku tahu ia menggenggam mawar cantik sekali, lalu dilepaskannya ketia sadar tangannya penuh darah oleh duri ditangkai bunganya. Aku pun tak berani bertarung dengan waktu untuk menggantikan semburat warna bahagia yang ia miliki dulu bersama mawarnya.

Semoga aku tidak sedang jatuh cinta. Aku takut menyelam pada luka yang sama. Pergilah, aku takut jatuh cinta (lagi)!

Netri Olala
Pariaman,
18 Maret 2016
10:55 Wib


Kamis, 03 Maret 2016

Berhari Minggu Di Tiku Itu Seru


Perjalanan ke Tiku hari ini benar-benar di luar rencana. Niat awalnya malah pengin ikut pengajian. Berawal Kamis lalu, saat aku dan sahabatku Dian shalat di masjid depan kampus STIT Kampung Baru, kami menemukan selebaran berisi pengumuman akan digelarnya sebuah acara Tabligh Akbar di Mesjid Tapi Aia pada Minggu 28 Februari 2016, dengan tema "Perjalanan Setelah Kematian" terpampang nyata di dinding pos penjaga mesjid. Hebatnya lagi, pembicara pada acara tersebut adalah uztad dengan gelar yang cukup oke dan lulusan Universitas di Madinah.

Setelah hari H yang dinanti-nanti tiba, bergegaslah aku dan Dian menuju masjid tempat acara akan digelar. Namun, setelah kami tiba di masjid yang aku yakini sebagai masjid Tapi Aia, kami kebingungan kok mesjidnya sepi-sepi saja. Sesaat kemudian aku melirik Dian, dan dia pun melakukan hal yang sama saat kita berdua sama-sama membaca nama masjid tersebut; MESJID AIA PAMPAN. 

Yassalam..

Kemudian kami muter-muter nyari masjid yang dimaksud. Tapi nggak ketemu juga. Ya Allah, setan apakah yang telah membutakan mata kami #eh


Entah karena efek laper atau baper, muncul argumen Dian yang seperti ini; “Mungkin bukan Mesjid tapi aia, tapi tepi pantai” dengan polosnya. Aku pun melotot mendengar pernyataan tersebut. Tapi entah kenapa, aku seolah tersugesti oleh perkataan Dian, dan sampailah kami di Pantai Gandoriah.
Di pantai kami bertanya pada ibu-ibu yang berjualan sala lauak (makanan khas Pariaman), mengenai keberadaan Masjid Tapi Aia. Dan dengan percaya dirinya si ibu bilang masjid tapi aia ada di kampung perak, deket klinik Aisyiyah.
Singkat cerita, sampailah kami di lokasi yang dijelaskan si Ibu tadi dengan wajah sangat meyakinkan, namun tanda-tanda akan digelarnya sebuah acara tidak juga tampak disini. Kemudian kami pergi ke Taratak, mungkin maksud si ibu mesjidnya deket rumah sakit Aisyiyah, namun hasilnya pun sama.
Kami pun menyerah!

Ampuni Aim ya Allah yang terlalu cepat menyerah.
**


Sejurus kemudian kami mulai berdiskusi, akan kemana kaki ini melangkah. Perut pun mulai keroncongan. Sempat berniat untuk makan nasi sala Uni Esi yang terkenal di Pantai Cermin Pariaman itu, tapi buru-buru niat itu kami kubur dalam-dalam mengingat seperti apa ramenya itu warung nasi hari Minggu begini. Hingga tercetus ide untuk coba makan siang di Tiku. Gegara dulu pernah dipanas-panasin Dian Permata (teman satu lagi) yang cerita makanan di Tiku enak-enak, maka nekatlah kami melakukan perjalanan ke Tiku, berhubung ada sahabat semasa kuliah kami Anggela tinggal disana. Kebetulan posisi kami pada saat itu tepat di simpang empat Jati, jadilah kami langsung belok kiri. Mudah-mudahan ini bukan jalan menuju kesesatan.

Tiku dilepas oleh Pariaman dan dihadiahkan pada Kabupaten Agam sejak 16 tahun lalu, kalo nggak salah, sih. Namun bicara adat, seperti bajapuik misalnya, Tiku masih memegang teguh tradisi ini sebagaimana Pariaman. Jauh dekatnya Tiku, itu relative, ya. Kalau kawan-kawan naik jet pribadi mungkin bakalan deket. Kalo dengan jalan kaki, akan terasa jauh dan lama. Dan kami, dua ibu-ibu pengajian gagal, menggunakan motor, jadi yah lumayan. Dibilang jauh, nggak jauh-jauh amat, dibilang dkeet juga nggak deket. Ada yang bisa lebih bisa menyederhanakan bahsa saya ini, behubung saya lupa mencatat berapa menit perjalanan saya dari Pariaman menuju Tiku? Tapi kira-kira 1,5 jam dari Pariaman ke arah utara.

Sampai di suatu daerah yang saya yakini adalah Tiku karena ada tulisan mutiara-mutiaranya (konon kabarnya di Tiku pantai yang terkenal bernama Pantai Tanjung Mutiara) saya mulai plangak-plongok nyari rumah yang di depannya ada tower deket MTSN Tiku, menurut informasi dari Anggela beberapa tahun lalu. Gila, ya, nyari rumah orang berbekal informasi beberapa tahun yang lalu. Ya tapi mau bagaimana, BBM ataupun nomer handphone Anggela nggak aktiv pada hari itu. 

Nyari hingga dehidrasi pun rumah Anggela nggak juga ketemu. Lalu ketika kami bertemu gapura;selamat datang di objek wisata Bandar Mutiara, saya pun memutuskan berhenti mencari rumah Anggela dan berfikiran mau menikmati alam Tiku berdua saja #eh

Tepat di depan portal setalah masuk dari gapura objek wisata Bandar Mutiara, kami diteriaki seorang bapak-bapak, disuruh berhenti. Beliau mengeluarkan kertas kercil warna merah jambu, aih romanis sekali bapak ini. “Delapan ribu untuk dua orang” katanya sambil menyodorkan kertas yang beliau klaim sebagai karcis masuk, bukan surat cinta.

Sambil ngedumel dalem hati kenapa masuk pantai ini berbayar, kami terus menyusuri pantai tersebut. Mata kami mencari-cari apa istimewanya pantai ini dibanding pantai-pantai lain yang masuknya malah gratis. And there is no something special here. Pantainya sepi. Maaf, banyak sampah bertebaran, dan benar-benar di luar espektasi. Kami tertipu indahnya gapura pemirsa. 

Tidak puas hati, aku bertanya pada bapak-bapak yang sedang istirahat sehabis melaut sepertinya, dan betapa kagetnya ketika si bapak bilang ‘Ini belum sampai Tiku. Masih di Bandar. Pantai yang rame itu di Tiku, Pantai Tanjung Mutiara namanya” denger ini langsung lemes. 

Tidak mau menyia-nyiakan waktu, kami bergegas melanjutkan perjalanan. FYI, Tiku itu bener-bener jalannya lurus nggak ada belok-belok, jadi tinggal lurus aja sampai ketemu gapura Pantai Tanjung Mutiara. Namun di tengah-tengah perjalanan, Dian mendapatkan Hidayah. Dia berhasil menemukan plang bertuliskan MTSN Tiku. Meski harus nanya kesana kemari dulu persis kaya Ayu Ting-Ting nyari alamat palsu, but Yeeeay nasib kami lebih sedikit beruntung di banding Ayu Ting-ting karena berhasil menemukan rumah Anggela, meski Anggela terlihat sedikit shock melihat kedatangan dua ibu-ibu Majlis Ta'lim yang lebih mirip sandera Gafatar yang melarikan diri ini.

Muka yang udah gosong diterpa sinar matahri, haus, lemes, laper, langsung hilang seketika ketika kami diajak makan siang di salah satu rumah makan paling enak dan paling rame di Tiku. Nama rumah makannya Takana Juo. Iya, uda juga masih takana juo kok #eh #laperbaper

Beginilah bentuk hidangan di rumah makan ini pemirsa..


Sekilas memang seperti hidangan di rumah makan pada umumnya. Itu Karna dua menu spesialnya belum dateng.

Ini nih menu spesialnya...Gulai Lokan.


Please, jangan fokus ke botol beer, yang jadi background foto gulai Lokannya, ya teman-teman. Air yang ada di dalam botol beer tersebut adalah air cuci tangan. Bukan berarti habis makan gulai lokan terus minum beer, bisa semaput akika. Jangan tanyain, kenapa air kobokannya harus diisi di botol beer? Dapet botol beer-nya dari mana? Sumpah, lupa nanya karna udah nggak sabaran pengen makan semua hidangan di rumah makan ini.

Selain gulai lokan, ada lagi sate lokan.




Lokan atau karang memang banyak terdapat di Tiku selain Langkitang dan Pensi. Makanya semua rumah makan di Tiku berlomba-lomba mengolah lokan seenak mungkin, untuk menarik pembeli. Dan rasa gulai lokan plus sate lokannya di rumah makan ini, saya kasih nilai 10. Enak bangeeeeeeeeeeettt!!!

Eittss, jangan berpikir semua yang kami makan ini akan dibandrol dengan harga yang bikin kantong bolong. Puas nyobaain menu ini itu bertiga, cukup bayar  Rp. 71.000 aja udah ditambah es teh. Pantesan rame, ya. udah enak, ramah kantong lagi. Apa lagi kantong pengangguran. Menurut info dari Anggela, kalo mau nyobain makan disini, datengnya harus cepet-cepet. Sekitar jam tiga-an mungkin semua menu udah habis. Pas kami dateng aja, sate lokannya udah dinyatakan pemilik rumah makan habis. Sampai-sampai Anggela nggak tega lihat wajah memelas kami, sate lokan di meja sebelah pun bisa beralih ke meja kami. Dan kalau teman-teman pas main ke Tiku dan mau nyobaain makan disini, silahkan banget. Rumah makannya berada disamping SMP I Tanjung Mutiara. Dari jalan Raya, cuma masuk ke dalem dikit. Ketemu deh rumah makannya.

Abis nyobain makanan khas dareh yang dikunjungin, nggak afdol kalo nggak ngunjungin tempat wisatanya. Pengen tahu tempat nongkrong anak-anak hits Tiku ini dimana. Kami pun diajak ke Pantai Tanjung Mutiara, yang dari tadi kami cari-cari. Sekilas nggak ada yang beda sih sama pantai Gandoriah Pariaman. Masuk pantai ini gratis, tidak dipungut bayaran. Kuliner yang disuguhkan di pantai ini juga sama dengan pantai-pantai lainnya, yaitu pensi, langkitang sama sala lauak gitu. Mungkin yang bisa bedain pantai Tanjung Mutiara Tiku ini sama Pantai Gandoriah ini adalah lautnya yang kalo lagi surut bisa kelihatan terumbu-terumbu karangnya. Kalo liat langsung lebih jelas.



Habis kongkow-kongkow cantik di bawah payung yang tidak ceper dan warna-warni namun bukan lambang LGBT, kami menuju pasar Tiku yang menurut Anggela ada bakso yang enak banget. Tau aja aku pecinta bakso. Sukses deh dibuat penasaran. Meski perut udah kenyang banget. Tapi sumpah, bakso ini memang enak. Bakso Mas Anto namanya. Lokasinya di deket jalan raya sih, belum masuk pasar. Kalau ke Tiku, cobain deh makan bakso disini.

Rasanya belum puas nyobain banyak makanan di Tiku (emang dasar tukang makan). Someday pengin balik lagi. Berhari Minggu di Tiku itu seru, lho. Yuk ke Tiku, cobain kulinernya. Tengkyuuu Anggela. Salam cinta, Netri Olala..

29 Februari 2016