Jumat, 20 Juni 2014

Menjemput Sepotong Ingatan Yang Tertinggal


Pada salah satu tanggal milik bulan maret itu, kamu datang dengan gagahnya. Menyalami ibuku dan berbincang akrab di ruang tamu. Aku sesekali mencuri dengar dari apa yang kalian bicarakan dari dapur. Secangkir teh aku suguhkan untukmu dan ibu berlalu. Tinggal kita berdua. Dan kita terjebak oleh rasa canggung karena baru pertama kali ini bertemu.
Tak butuh waktu lama, aku memenuhi permintaanmu untuk menjadi kekesihmu. Sikap layaknya seorang ksatria kau tunjukan padaku ketika kamu meminta ibuku merestui hubungan kita. Hingga tak berlebihan rasanya jika aku percaya bahwa kau adalah laki-laki yang selama ini aku dambakan. Dimataku tak ada lelaki yang lebih bertanggung jawab darimu. Tak ada yang lebih setia. Tak ada rasanya pria yang menyayangiku selain kamu.

Hari terus berlalu. Hingga memasuki bulan yang kata mereka romantis, sikapmu tak lagi manis. Kasih sayang dan setiamu terkikis. Sekuat apa pun kau coba menutupi, realita itu terkuak juga. Aku benar-benar tak habis fikir. Di tengah usahaku memelihara kisah cinta kita sedemikian rupa, kau malah asyik mengikuti pesona wanita yang jauh lebih tua dari usia kita. Apa yang sebenarnya sedang kau cari? Apa kau ingin mendapatkan apa yang tak kau dapatkan dariku?
Kau berhasil membuat orang-orang terdekatku sibuk menyeka air mataku. Air mata ketidakpercayaan atas kebohongan-kebohongan yang kau lakukan. Air mata ketidakpercayaan atas hancur leburnya mimpi-mimpi kita yang kau sendiri penciptanya. Air mata ketidakpercayaan bahwa perjumpaan kita sehari setelah ulang tahunku itu adalah perjumpaan terakhir kita karna memang perpisahan disepakati sebagai jalan keluar atas kepalsuan yang kau ciptakan ini.
Mungkin aku telambat menulis cerita ini. Terlambat mengenang cerita ini. Aku terlambat menyadari bahwa luka atas dusta ini teramat perih. Aku sengaja baru menulis cerita ini sekarang, karena baru hari ini aku yakin mampu menulis kembali kisah brengsek ini tanpa air mata. Aku baru berani menulis cerita ini setelah berpuluh-puluh hari aku mencoba berlatih tersenyum kembali. Berpuluh-puluh hari aku melelahkan badanku dengan pekerjaan ini-itu, agar ketika malam aku langsung tertidur dan tak sempat mengingatmu. Berpuluh-puluh hari aku memberi perintah berpikir lebih pada otakku untuk hal-hal tak penting sebenarnya untuk ku pikirkan. Agar apa? Agar otakku tak punya ruang untuk memikirkanmu. Meski sesekali tangisku pecah kerena kalah. Melupakanmu sulit. Namun saat tulisan ini aku posting di diary digitalku, pada saat itulah aku bisa katakan, AKU BERHASIL MELUPAKANMU! Selamat tinggal!




1 komentar:

  1. Ditunggu ya novelnya. Salam kenal. Tulisannya bagus2.

    Kunjungan pertama Pangeran Wortel dari tulisanwortel.com

    BalasHapus