Handphoneku berbunyi
petanda ada telepon masuk. Ku lihat di layar, tertera nomor ponselmu. Ya. aku
masih ingat betul bahkan sangat-sangat ingat nomor ponselmmu. Aku menarik nafas
seraya bertanya sendiri, ada apa hingga kamu menelponku?
“Halo” ucapmu di ujung telpon. Aku masih
terdiam. Hingga kamu mengulang sekali lagi barulah aku membalas.
“Ya halo. Ada apa?” tanyaku sebiasa
mungkin.
“Ada Tabuik di kotamu hari minggu kemaren kok diem-diem aja? Nggak
ngajak-ngajak!”
Aku tertegun ditodong pertanyaan
itu.
“Salah sendiri kenapa nggak kesini”
“Pengen sih tapi nggak ada yang
dilihat disana”
“Lho, kan ada Tabuik yang bisa dilihat”
Kamu pun terdenger tertawa di ujung
sana mendengar perkataanku.
“Apa kabar sekarang?” tanyamu
mengalihkan topik pembicaraan.
“Nggak ada. Lagi santai-santai aja”
Aku berusaha tak balik bertanya
tentangmu.
“Kapan wisuda?”
“Masih lama?”
“Bukannya sekarang?”
“Ditunda”
“Oh”
Kita berdua sama-sama hening.
“Gimana kabar ibu?” tanyamu setelah
lama diam.
“Baik”
Aku bahkan tak berniat sedikitpun
menanyakan kabar ibumu.
Aku tak ingin larut dalam percakapan
ini. Dan mengulang kebodohan lagi. Aku berharap kamu segera mematikan telpon. Tapi
kamu malah terus berusaha membuatku bebicara panjang lebar. Persis seperti
dulu. Tapi sekarang, aku tak lagi bisa bercerita tentang apa yang ku lihat,
dengar dan rasakan padamu. Kamu sendiri yang merubahku menjadi tertutup padamu.
“Aku pengen makan bakso di tempat
yang biasa kita makan” katamu lagi.
“Ya udah makan aja”
“kamu mau nemenin nggak?”
“Aku di Padang sekarang”
“Ngapain?”
“Kerja”
Aku terpaksa berbohong agar
mempunyai alasan untuk menolak permintaanmu. Aku tak menghendaki pertemuan itu.
Ibuku juga tak akan lagi sudi melepasku pergi bersamamu.
“Oh. Udah punya pacar, ya, sekarang.
Anak mana?”
“Adalahh” jawabku penuh teka-teki. Aku
membiarkanmu menebak-nebak.
Tiba-tiba ibu memanggilku. Aku tak
mau suara ibu terdengar olehmu. Aku segera mematikan telfon. Tak lama kemudian
kamu menelfon lagi.
“Ya?”
“Kenapa dimatiin?” tanyamu protes.
“Oh tadi pacarku nelfon..mmm..udah
dulu, ya, nanti dia mau nelfon lagi soalnya..” aku berbohong.
“Oh ya udah” kamu mengucap salam
lalu mematikan telfon.
Aku benar-benar
tak puya alasan lagi untuk masuk ke kehidupanmu, mantan. Di saat kamu
memutuskan untuk mengakhiri “kita” aku berjuang keras untuk menahan inginku
untuk menelfonmu. Ku nikmati tiap tetes air mata rindu. Ketika air itu sampai
pada hati yang luka, rasanya amat pilu. Tapi sekarang, kamu mungkin punya
banyak alasan untuk menghubungiku lagi. Mungkin kamu bosan dengan wanita yang telah
merebutmu dari ku itu, hubungan kalian berakhir, atau kamu hanya coba
mempermainkanku sekali lagi. Aku sempat berubah wujud menjadi wanita yang tolol
ketika memaafkan dan memaafkan setiap kebrengsekan demi kebrengsekan yang kamu
buat. Aku berulang kali memberi kesempatan, namun sia-sia tak berguna.
Sekarang aku tak
ingin menjadi Netri yang bodoh lagi. ketika kamu memilih menyakitiku dengan
sangat sadis, disaat itulah sebuah keyakinan menguatkanku bahwa;aku masih punya
kesempatan untuk mendapatkan lelaki yang lebih baik darimu.
Ingatlah ketika kamu
dengan perempuan barumu mencaci maki aku. Ingatlah ketika kalian tertawa di
atas pedihku. Ingatlah ketika aku memohon hatimu lagi untukku waktu itu, tapi kamu
malah menamparku dengan sangat keras lewat sebuah kenyataan bahwa kamu mantap
memulai kisah baru dengan perempuan serampangan itu. Bukan ingin mengajarimu
menjadi pendendam. Tapi aku hanya ingin kamu belajar bahwa tak selamanya wanita
itu bodoh oleh cinta. Hingga kamu tak lagi melakukannya pada wanita lainnya.
Pariaman, 11 Novermber 2014 ketika,
rintik hujan berjatuhan dengan manjanya..
Image By Google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar