Seuntai Mimpi Anak Pesisir Pantai
Oleh Netri Olala
Mengawali
tulisan ini, berdosa rasanya jika tidak menyampaikan salam resah dari nelayan
di kampungku yang beberapa hari ini tidak melaut karena badai cukup kencang
menyerang. Salam dari perempuan-perempuan tua yang dipaksa tangguh yang tengah
mengucek matanya nan perih oleh asap tungku. Tungku yang mereka pakai untuk
menyangrai buah melinjo yang nantinya akan dibentuk menjadi emping. Juga salam
dari buruh tani yang khawatir karena sang tuan lebih suka menjual sawahnya
untuk dijadikan lahan perumahan ketimbang mengharapkan hasil panen.
Aku hanya mahasiswa bau buku, yang hari ini
coba menulis tentang mimpiku untuk kota kecil ini. Sedikit mengingatkan, kota
yang memilih memisahkan diri dari kabupaten Padang Pariaman sejak 12 tahun lalu ini dikenal sebagai kota sepi. Tak
ada investor. Orang Cina dilarang datang untuk menetap dan membuka usaha. Tak
ada pabrik besar yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Selain pekerjaan
masyarakatnya yang melaut dan bertani, ada beberapa pantai yang diandalkan
sebagai objek wisata. Berharap masyarakat sekitar mendapat penghasilan dari
berjualan.
Namun,
yang belakangan terjadi adalah banyaknya kedai nasi tutup ulah sepinya pembeli.
Pengrajin souvenir khas kota ini satu demi satu pensiun dini. Kusir bendi (delman) keberadaannya kini bisa
dihitung dengan jari. Tak ada yang mau naik bendi. Pengunjung datang dengan
mobil pribadi, membawa rantang dan tikar sendiri. Tak sedikit juga yang sudah
membawa air mineral lengkap dengan makanan kecilnya. Lalu masyarakat sekitar
dapat apa? Dapat sampahnya.
Jangan berharap banyak anak muda penggerak
ekonomi kreatif di kota ini. Banyak pun pun mencoba, usaha itu mati oleh
ketiadaan pembeli. Di kota ini Hanya ada
beberapa sekolah tinggi yang dikelola swasta. Jumlahnya mahasiswanya pun tak
banyak. Jadi untuk apa cafe dibuka
jika hanya akan ditutup nantinya. Untuk apa outlet
fashion dibuka jika penjaganya hanya akan mengantuk sambil menatap
item-item yang tak kunjung berkurang dari tokonya. Mengharap pegawai negeri
yang berjumlah 10 persen dari penduduk kota ini berbelanja pun percuma. Jika
memiliki uang lebih tentu mereka memilih belanja ke kota Padang dengan harga
yang lebih bersaing dan pilihan yang lebih variatif. Alhasil, pemuda di kotaku
banyak memilih pergi merantau. Berharap mengais sesuatu yang lebih baik di kota
besar. Kotaku semakin sepi!
Selama ini mimpiku untuk kota ini seperti
tergulung ombak. Harapanku seolah
tertimbun pasir. Mimpiku sederhana. Aku hanya bermimpi sebuah Universitas Negeri
berdiri di kota ini. Selain pemuda kota Pariaman, akan datang mahasiswa dari
Mentawai, Jambi, Riau, Aceh, Palembang dan daerah lainnya. Tentu mereka
membutuhkan tempat tinggal yang bernama kos-kosan yang akan dibangun oleh masyarakat
sekitar nantinya. Penjual nasi, sala lauak, gorengan, minuman dan tebu keliling
akan tersenyum bahagia karena dagangannya laku dibeli para mahasiswa. Tukang
ojek tak lagi muram karena telah berpenumpang mahasiswa yang minta diantar
kesana-kemari.
Lalu
disebuah sudut pantai Gandoriah berdiri megah perpustakaan kota yang didalamnya
terdapat referensi yang dibutuhkan pelajar dan mahasiswa. Selesai membaca
mereka akan pergi ke bibir pantai dan menikmati segarnya es kelapa muda. Pantai
wisata akan ramai. Masyarakat sekitar tak lagi dapat sampah, tapi penghasilan
dari uang yang mereka dibelanjakan.
Ketika
libur semester tiba, para mahasiswa yang berasal dari luar daerah Pariaman akan pulang ke kampung halaman
masing-masing dengan membeli emping melinjo sebagai oleh-oleh. Tentu
perempuan-perempuan tua yang dipaksakan tangguh yang ku sebutkan di awal
tersenyum bahagia meski masih dengan mengucek mata yang perih oleh asap tungku
ia melakukannya.
Suatu
waktu, keluarga mahasiswa dari luar daerah akan datang ke kota ini untuk
mengunjungi anaknya seraya berlibur. Mereka akan mengitari pantai dengan Bendi, Lalu mampir ke salah satu cafe dengan hidangan lautnya. Para
nelayan akan bersemangat lagi mencari ikan. Usaha-usaha penginapan pun tentu
akan berkembang pesat.
Terpenting,
dengan berdirinya sebuah universitas Negeri di Kota ini, aku tak akan
kehilangan teman-teman yang harus pergi ke kota besar untuk menimba ilmu.
Sehingga aku mempunyai teman untuk berdiskusi tentang pertumbuhan kota ini dari
berbagai segi. Bersama-sama mengawasi kinerja pemerintah kota dari berbagai
aspek. Sedikit banyaknya pemikiran masyarakat akan tersentuh oleh pikiran
rasional kalangan mahasiwa. Hingga jika ada keganjilan, masyarakat dan
mahasiswa akan menggebrak meja pemangku kepentingan. Aku tentu canggung jika
‘bersuara’ sendiri.
Begitulah mimpiku. Sebuah mimpi sederhana yang
mempengaruhi banyak hal.untuk kota ini. Jika terkesan konyol, maafkanlah anak
pesisir pantai ini. Aku hanya ingin Pariaman menjadi ramai tak hanya saat Batabuik. Menjadi daerah rantau yang tak melulu merantau penduduknya. Menurut Tom
Pires di dalam bukunya, Pariaman dulu menjadi pelabuhan terpenting di pantai
Barat Sumatera, Kenapa sekarang tidak? Menurutku yang hanya seorang anak
pesisir pantai ini di dalam pikirannya, hal tersebut bisa terwujud kembali salah
satunya dengan berdiri kokoh dan megahnya sebuah Universitas Negeri di tanah Sabiduak sadayuang ini.
Teruslah bermimpi...cepat atau lambat,suatu saat jalan kan dibukakan untuk meraihnya
BalasHapusMimpi..dream it.share it,and do it