Selasa, 31 Maret 2015

Aku Dan Setapak Impian Untuk Ranah Minang



Seuntai Mimpi Anak Pesisir Pantai
Oleh Netri Olala
Mengawali tulisan ini, berdosa rasanya jika tidak menyampaikan salam resah dari nelayan di kampungku yang beberapa hari ini tidak melaut karena badai cukup kencang menyerang. Salam dari perempuan-perempuan tua yang dipaksa tangguh yang tengah mengucek matanya nan perih oleh asap tungku. Tungku yang mereka pakai untuk menyangrai buah melinjo yang nantinya akan dibentuk menjadi emping. Juga salam dari buruh tani yang khawatir karena sang tuan lebih suka menjual sawahnya untuk dijadikan lahan perumahan ketimbang mengharapkan hasil panen.
 Aku hanya mahasiswa bau buku, yang hari ini coba menulis tentang mimpiku untuk kota kecil ini. Sedikit mengingatkan, kota yang memilih memisahkan diri dari kabupaten Padang Pariaman sejak 12  tahun lalu ini dikenal sebagai kota sepi. Tak ada investor. Orang Cina dilarang datang untuk menetap dan membuka usaha. Tak ada pabrik besar yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Selain pekerjaan masyarakatnya yang melaut dan bertani, ada beberapa pantai yang diandalkan sebagai objek wisata. Berharap  masyarakat sekitar mendapat penghasilan dari berjualan.
Namun, yang belakangan terjadi adalah banyaknya kedai nasi tutup ulah sepinya pembeli. Pengrajin souvenir khas kota ini satu demi satu pensiun dini. Kusir bendi (delman) keberadaannya kini bisa dihitung dengan jari. Tak ada yang mau naik bendi. Pengunjung datang dengan mobil pribadi, membawa rantang dan tikar sendiri. Tak sedikit juga yang sudah membawa air mineral lengkap dengan makanan kecilnya. Lalu masyarakat sekitar dapat apa? Dapat sampahnya.
 Jangan berharap banyak anak muda penggerak ekonomi kreatif di kota ini. Banyak pun pun mencoba, usaha itu mati oleh ketiadaan pembeli. Di kota ini Hanya  ada beberapa sekolah tinggi yang dikelola swasta. Jumlahnya mahasiswanya pun tak banyak. Jadi untuk apa cafe dibuka jika hanya akan ditutup nantinya. Untuk apa outlet fashion dibuka jika penjaganya hanya akan mengantuk sambil menatap item-item yang tak kunjung berkurang dari tokonya. Mengharap pegawai negeri yang berjumlah 10 persen dari penduduk kota ini berbelanja pun percuma. Jika memiliki uang lebih tentu mereka memilih belanja ke kota Padang dengan harga yang lebih bersaing dan pilihan yang lebih variatif. Alhasil, pemuda di kotaku banyak memilih pergi merantau. Berharap mengais sesuatu yang lebih baik di kota besar. Kotaku semakin sepi!
 Selama ini mimpiku untuk kota ini seperti tergulung ombak. Harapanku  seolah tertimbun pasir. Mimpiku sederhana. Aku hanya bermimpi sebuah Universitas Negeri berdiri di kota ini. Selain pemuda kota Pariaman, akan datang mahasiswa dari Mentawai, Jambi, Riau, Aceh, Palembang dan daerah lainnya. Tentu mereka membutuhkan tempat tinggal yang bernama kos-kosan yang akan dibangun oleh masyarakat sekitar nantinya. Penjual nasi, sala lauak, gorengan, minuman dan tebu keliling akan tersenyum bahagia karena dagangannya laku dibeli para mahasiswa. Tukang ojek tak lagi muram karena telah berpenumpang mahasiswa yang minta diantar kesana-kemari.
Lalu disebuah sudut pantai Gandoriah berdiri megah perpustakaan kota yang didalamnya terdapat referensi yang dibutuhkan pelajar dan mahasiswa. Selesai membaca mereka akan pergi ke bibir pantai dan menikmati segarnya es kelapa muda. Pantai wisata akan ramai. Masyarakat sekitar tak lagi dapat sampah, tapi penghasilan dari uang yang mereka dibelanjakan.
Ketika libur semester tiba, para mahasiswa yang berasal dari luar daerah  Pariaman akan pulang ke kampung halaman masing-masing dengan membeli emping melinjo sebagai oleh-oleh. Tentu perempuan-perempuan tua yang dipaksakan tangguh yang ku sebutkan di awal tersenyum bahagia meski masih dengan mengucek mata yang perih oleh asap tungku ia melakukannya.
Suatu waktu, keluarga mahasiswa dari luar daerah akan datang ke kota ini untuk mengunjungi anaknya seraya berlibur. Mereka akan mengitari pantai dengan Bendi, Lalu mampir ke salah satu cafe dengan hidangan lautnya. Para nelayan akan bersemangat lagi mencari ikan. Usaha-usaha penginapan pun tentu akan berkembang pesat.
Terpenting, dengan berdirinya sebuah universitas Negeri di Kota ini, aku tak akan kehilangan teman-teman yang harus pergi ke kota besar untuk menimba ilmu. Sehingga aku mempunyai teman untuk berdiskusi tentang pertumbuhan kota ini dari berbagai segi. Bersama-sama mengawasi kinerja pemerintah kota dari berbagai aspek. Sedikit banyaknya pemikiran masyarakat akan tersentuh oleh pikiran rasional kalangan mahasiwa. Hingga jika ada keganjilan, masyarakat dan mahasiswa akan menggebrak meja pemangku kepentingan. Aku tentu canggung jika ‘bersuara’ sendiri.
 Begitulah mimpiku. Sebuah mimpi sederhana yang mempengaruhi banyak hal.untuk kota ini. Jika terkesan konyol, maafkanlah anak pesisir pantai ini. Aku hanya ingin Pariaman menjadi ramai tak hanya saat Batabuik. Menjadi daerah rantau yang  tak melulu merantau penduduknya. Menurut Tom Pires di dalam bukunya, Pariaman dulu menjadi pelabuhan terpenting di pantai Barat Sumatera, Kenapa sekarang tidak? Menurutku yang hanya seorang anak pesisir pantai ini di dalam pikirannya, hal tersebut bisa terwujud kembali salah satunya dengan berdiri kokoh dan megahnya sebuah Universitas Negeri di tanah Sabiduak sadayuang ini.  


1 komentar:

  1. Teruslah bermimpi...cepat atau lambat,suatu saat jalan kan dibukakan untuk meraihnya
    Mimpi..dream it.share it,and do it

    BalasHapus