“BERI
AKU SEPULUH PEMUDA, MAKA AKAN AKU JADIKAN PREMAN DI KAWASAN WISATA!”
Saya tidak
sedang membecandai Soekarno dengan membuat plesetan atas seruannya yang amat
terkenal tentang pemuda:
“BERI
AKU SEPULUH PEMUDA MAKA AKAN AKU GUNCANG DUNIA!”
Saya
tidak sedang melucu, karena permasalahan ini bukan lelucon. Ini masalah serius.
Ini masalah mental. Tulisan ini berangkat dari patah hati saya karena pemuda
dalam seruan Bung Karno yang tak lagi terepresentasi oleh pemuda kini. Saya
tidak berani berbicara tentang pemuda Indonesia. Saya hanya ingin berbicara
tentang pemuda di kota saya. Dimana sebagian dari mereka kini lebih memilih
menjadi “tukang parkir” dan “petugas kebersihan” dadakan!
Lewat
tulisan ini, saya ingin berkirim pesan cinta…
"Teman-temanku,
pemerintah kota tengah berbenah di sektor wisata. Di sepanjang pantai Nareh
hingga pantai Kata, sedang dipercantik agar indah dipandang mata. Tujuannya tak
lain adalah wisatawan domestik hingga mancanegara datang ke kota kita.
Pendapatan daerah bertambah, dan perekonomian masyarakat sekitar ikut
menggeliat. Ada pedagang nasi sala, nasi sek, sala lauak, es kelapa muda dan
pedagang-pedagang kecil lainnya yang menanti pengunjung pantai datang membeli dagangannya.
Lalu, apa dengan uang palak bartameng uang parkir atau uang kebersihan yang
kalian minta, kalian tega memupuskan harapan mereka?
Kontribusi
kita terhadap pariwisata kota tercinta ini bukan itu. Peran kita sebagai
masyarakat lokal adalah menjaga kenyamanan pengunjung dengan ramah tamah agar
dikemudian hari mereka kembali lagi, bukan meminta uang kebersihan dimana
mereka duduk santai menikmati makanan yang mereka bawa. Bukan meminta uang
parkir di setiap titik mereka berhenti untuk mengambil foto.
Jika
di kampung kita dibangun spot wisata baru, dukung siapa saja yang punya
inisiatif selagi positif. Bukan memusuhi dengan mengambil alih apa yang sudah
dibangun yang kita belum tentu bisa handle
semuanya. Bukan “Iko kampuang den, aden
nan bagak. Waang sia?”
Jika begini terus, kapan Pariaman
akan maju? Kemajuan sebuah kota bukan tercermin dari pembangunan fisik saja,
namun juga mental masyarakatnya.
Kenapa kita tidak bisa kreatif
seperti pemuda Bandung, Yogyakarta, ataupun Bali. Mereka membuat souvenir khas
daerah mereka. Mereka beradu kreativitas dengan menciptakan clothing line sendiri yang tidak
dibanderol harga tinggi, hingga semua wisatawan dapat membawa pulang buah
kreativitas mereka. Mereka tidak sekedar duduk-duduk di kawan wisata lalu
menjadi tukang parkir liar atau petugas kebersihan dadakan untuk mengeruk uang
pengunjung saja. Be open minded people,
please! Jika wisatawan menjadi enggan mengunjungi (lagi) kota ini, maka
jadilah Pariaman kota mati.
Teman-teman, kalian yang melaut,
teruslah melaut. Cari ikan yang banyak lagi segar. Jual pada pemilik rumah
makan. Kalian yang dulunya tukang ojek motor yang sepi penumpang, jadilah
tukang bendi agar wisatawan bisa menyusuri pantai lewat jasa kalian, dan
mintalah tarif normal saja. Kalian yang masih sekolah atau kuliah teruslah
sekolah dan kuliah, Pariaman butuh pemikiran kalian ke depan. Kalian yang sama
sekali tidak mempunyai pekerjaan, belajarlah membuat miniatur kapal Dewaruci pada
Angah Black. Jika Bali punya patung Legong keraton, Pariaman punya kapal
Dewaruci. Bukan bermaksud menggurui, hanya memberi usul tanda peduli. Salam
cinta, salam damai, dan salam perubahan."
Netri Olala, 24 Januari 2016
Sedikit Catatan:
Silahkan copas tulisan ini dengan masih mencantumkan sumber aslinya!
Sangat setuju dan saya berharap teruslah tuliskan kata kata bijak nan membangun ini semoga dari tulisan ini banyak masyatakat pariaman ter inspirasi.bravo....
BalasHapusTerimakasih banyak atas dukungannya. Insha allah. Semoga.. :D
BalasHapusMantap olala. Let's be smart.. let's be creative all the young and women ughang awak piaman. Taghuih berkarya olala.jadilah cik uniang inspiratif piaman ��
BalasHapus