Sejak 2013 lalu, saya mulai menulis sebuah novel yang terinspirasi oleh tradisi "Bajapuik" yang ada di Pariaman. Ketika itu saya masih kuliah semester 6. Karena sibuk dan berbagai alasan lain, akhirnya naskah novel tersebut terbengkalai. Belum lagi skripsi yang menguras otak dan energi. Sampai pada tahun 2015 saya mendapat ajakan untuk mengikuti seminar dan motivasi menulis yang diadakan oleh penulis muda asal kota Pariaman, saya juga mengikuti lomba menulis artikel bertema impian terhadap ranah minang yang beliau adakan. Hingga akhirnya tulisan saya keluar sebagai pemenang kedua untuk kategori umum (lomba lebih diprioritaskan kepada pelajar sepertinya). Atas menangnya tulisan saya, saya diganjar hadiah berupa paket buku yang beliau tulis. Dan betapa terkejutnya saya ketika membaca salah satu novel beliau yang terbit tahun 2014 yang bertemakan adat bajapuik di pariaman juga, meski latar cerita kita berbeda. Sempat patah hati, dan berniat tidak lagi menulis naskah novel ini. Karena saya takut dituduh plagiat ide seseorang yang sudah duluan terbit. Namun setelah saya kaji-kaji kembali, meskipun sama-sama terinspirasi oleh tradisi yang sama, cerita kami amat berbeda. Saya mengambil latar 80-an sementara yang bersangkutan mengambil seting masa kini. gaya bahasa yang kami gunakan pun sangat berbeda.
Mengapa saya mengambil seting 80-an? Karena pada masa itu cinta si kaya dan si miskin sulit berdamai dengan uang jemputan. Sudah ah, tidak ingin terlalu banyak cerita. Mohon doakan penulis malas ini sanggup menyelesaikan novel ini sesegera mungkin.
Di bawah ini adalah sepenggal kisah Aini dan Rizal yang rumit dan mengharu biru saya tuliskan. Penggalan cerita ini ibarat jendela untuk dapat mengintip sedikit kisah Aini dan Rizal. Silahkan baca dan mohon komentar membangunnya..
***
“Saat
aku bergegas meninggalkan kampung halaman untuk pergi ke rantau orang, setiap
lipatan kain ku pertegas disaat itulah hatiku mempertegas bahwa aku serasa tak
sanggup meninggalkan Aini. Hendakku menangis, tapi air mata laki-lakiku tak
keluar. Dan, saat pertama kali
menginjakkan kaki di Jakarta, pada saat itu ingin rasanya aku membalikkan badan
untuk kembali ke kampung halaman demi mewujudkan mimpinya mempunyai rumah
besar sebesar rumah pasir yang ketika kecil ku buatkan untuknya. Bukankah itu
kasih sayang, apak? Aku ingin segera membahagiakannya. Keinginan itu membuncah
di dada setiap hari dan menyiksaku selama berada disini. Aku ingin segera
menikahinya. Setidaknya jika belum selesai rumah untuknya ku buatkan, aku bisa
memperbaiki rumah orang tuanya yang tirih atapnya”
Apak terkesima mendengar jawaban
Rizal. Ia tak menduga Rizal tumbuh besar menjadi laki-laki yang tak hanya gagah
rupa, namun juga gagah hati dan pemikirannya. Hanya saja masih ada semburat
ragu terhias di wajah Apak.
“Mungkin tadi Apak lupa memberi tahu mu Rizal.
Apak berani datang ke rumah orang tua Andemu untuk meminta mereka menanyaiku
kerumah orang tua Apak, karna Apak adalah anak saudagar kaya di kampung. Apak
tak punya alasan untuk canggung bergaul dengan keluarga besarmu yang seluruh
orang Piaman mengenalnya sebagai keluarga kaya raya”.
“ Apakah kaya, menjadi syarat yang
diajukan keluargaku untuk meminang keturunan keluarga kami, Apak?”
“ Tidak tersurat diajukan, tapi
tersirat untuk orang-orang kampung maklumkan. Keluarga mu yang kini juga telah
jadi keluargaku, adalah orang terpandang, Rizal. Apa kau lihat kakak-kakakmu
beristri atau bersuami orang biasa-biasa? Juga Ande-Ande dan Mamak-mamakmu,
apa mereka bersuami atau beristrikan orang miskin? Tidak! Terlebih kau anak
bungsu. Jika dirasa patut kau untuk dicarikan jodoh, tentu meraka akan mencari
gadis tercantik di nagari Pariaman, juga dari keluarga terpandang. Tak sedikit
rupiah digelontorkan untuk membuat alekmu nanti, Zal. Akan berpesta tujuh hari
tujuh malam kita di kampung”, terang Apak Rizal panjang lebar. Mendengar
pernyataan itu, alangkah gusar hari Rizal. Ia terdiam. Baru tadi rasanya
hatinya diterbangkan oleh Burung Merpati putih sampai kelangit ketujuh.
Sekarang, hati itu dihempaskan dari langit setinggi itu ke tanah. Rizal tak
punya kata-kata lagi. Apak Rizal mengamati raut wajah adik Iparnya itu penuh prihatin.
Prihatin mengenang cinta adik iparnya yang akan jauh panggang dari api.
“ Jadi sekarang, apa Apak ingin
menyuruhku untuk melupakan gadis itu dan tidak melakukan hal yang serupa dengan
Apak dahulu ketika hendak menikah dengan Ande? Apa apak tak lagi berniat
mengabarkan perihal hatiku ini pada Apa dan Ama dikampung? Kita tidak akan
pulang kampung satu bulan lagi, Apak? Benar begitu?”, pertanyaan Rizal
bertubi-tubi pada Apaknya setelah sadar dari diam.
“ Bukan. Bukan Apak hendak membunuh
cintamu, Rizal. Apak hanya ingin memberi tahu. Dari pada kau menangis nanti,
tak apalah kau menangis kini. Apa yang apak sampaikan tadi belum ditambahi
dengan adat dan tradisi di kampung kita, Zal. Kau tahu kan dikampung kita anak
laki-laki itu dibeli oleh perempuan. Uang jemputan atau uang hilang istilahnya.
Uang itu dibayarkan kepada laki-laki oleh perempuan sebelum menikah. Jumlah
uang jemputan itu tergantung pada permintaan mamak-mamak laki-laki besar kecilnya.
Semakin tinggi pangkat atau bagus pekerjaan kemenakannya, semakin tinggi pula uang
jemputan itu mereka beratkan pada anak perempuan yang menghendaki kemenakannya
untuk dijadikan suami. Seperti kau ini, Zal, sekolah mu tinggi, bapak mu Tuan
Bagan di Pariaman. Bagannya tak hanya satu, tapi banyak dengan ratusan
anak ula nya. Apa mamak-mamakmu meminta uang dengan jumlah yang sedikit pada
keluarga Mira, Zal?”.
Ass buk
BalasHapusIzin koreksi sdkit buk,
Ad bbrp slh ktik kata yaitu yg shrusnya menguras tp mngurus dan kata bahwa tp d tlis bahawa.. bnar bgtu kn buk netri olala ? Hihi
Iya, nanti diperbaiki. Makasih ya..
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus